Berita Wisata

Maraknya outdoor cooking • Radar Jogja

RADAR JOGJA – Memasak di luar ruangan atau outdoor cooking kini sedang naik daun. Konsep ini mencoba mendekatkan gastronomi dengan tempat wisata lainnya.

Direktur Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM, Dr Mohamad Yusuf menjelaskan, dua jenis objek wisata gabungan tersebut sudah diminati sejak tahun lalu. “Ketika pandemi mereda, masakan jenis ini muncul,” ujarnya saat dihubungi Radar Jogja.

Menurutnya, pandemi Covid-19 telah membawa tren baru dalam berwisata. Di era new normal, masyarakat lebih memilih berwisata di alam dan berwisata dekat rumah. “Saat ini orang mencoba mengkombinasikan wisata alam dengan wisata lainnya. Salah satunya wisata kuliner outdoor,” jelasnya.

Maraknya kuliner outdoor, sebut Yusuf, hampir merata di kawasan DIJ. Selain itu, perkembangan teknologi memudahkan dalam berbagi informasi. “Kita tahu, makan atau menikmati masakan sekarang bukan hanya untuk mengobati rasa lapar. Tapi ada juga unsur lain, yaitu gengsi,” ujarnya.

Biasanya, tempat makan outdoor terletak di tempat-tempat yang Instagrammable. Sehingga pengunjung bisa mengambil foto cantik sambil mengisi perut. “Foto-foto yang diambil bagus dan menarik untuk diunggah ke media sosial,” ujarnya.

Yusuf menjelaskan bahwa dalam antropologi dikenal istilah distingsi. Gengsi yang didapat setelah mengunggah foto ke jejaring sosial dilakukan untuk menunjukkan status sosial. “Itu terjadi ketika seseorang dapat menunjukkan di mana mereka dapat bepergian, apa yang mereka makan di media sosial, itu untuk menunjukkan bahwa mereka berbeda dari lingkungannya. ‘Saya memiliki kelas sosial yang lebih tinggi.’

‘Sedangkan kamu adalah kelas sosial di bawah saya’. Ini dilakukan oleh penyedia kuliner outdoor,” jelasnya.
Meski populer, memasak di luar ruangan tentu tidak cocok dengan kondisi cuaca. Jika cuacanya tidak bagus, itu pasti akan menjadi masalah. Termasuk rentannya konsep menyatu dengan alam, namun nyatanya malah merusak keindahan alam.

Parahnya lagi, mereka hanya mencari untung tanpa memperhatikan keselamatan pengunjungnya. Karena itu, Yusuf menekankan pentingnya sertifikasi kuliner outdoor. “Jangan rentan terhadap keselamatan turis,” perintahnya.

Dilihat dari beberapa tempat makan outdoor, Yusuf yakin lokasi mereka sebenarnya rawan bencana. Yang banyak diperbincangkan adalah iming-iming minum kopi di atas bangau yang terjadi di Gunungkidul. “Standar pariwisata yang paling utama adalah keselamatan, sehingga CHSE (kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan) harus dipenuhi,” tegas Yusuf.

Soal kelestarian lingkungan, Yusuf menyinggung maraknya kafe sawah. “Membuka ruang hijau, padahal seharusnya lahan subur untuk pertanian. Itu banyak. Harapannya pengunjung bisa menikmati pemandangan sawah, tapi mereka membangun di sawah. Ini bukan kelestarian lingkungan,” katanya. (tebal/eno)

Source: news.google.com

Related Articles

Back to top button