Berita Wisata

Penambangan liar di Lempake, laporan korban berhenti

KARANG ASAM. Polres Samarinda membenarkan adanya laporan dan penanganan kasus terkait kegiatan penambangan liar di Muang Dalam, RT 35 dan RT 47, Desa Lempake, Kecamatan Samarinda Utara, tepatnya di lahan milik warga pada tahun 2017-2018. Namun, Kapolres Samarinda Kombes Pol Ary Fadli melalui Kasat Reskrim Andika Darma Sena mengatakan, penyidikan atas kasus tersebut dihentikan. “Masalah ini sudah lama dibatalkan. Dari hasil gelar perkara tidak ditemukan unsur pidana,” kata Sena. Sena menjelaskan, kasus tahun 2018 dilaporkan oleh Donny P Samarmata dan Rizal A Marten terkait perusakan tanah dan penipuan.

“Kalau mau disebut lagi boleh, kalau ditemukan bukti baru. Tapi kita lihat nanti,” katanya.
Pernyataan Sena mengejutkan Donny sebagai reporter senior. Karena jika dinyatakan di lapangan tidak ada kerusakan, maka dianggap fakta yang ada di lapangan sesuai dengan dokumentasi foto yang dilampirkan pada laporan saat itu. “Bahkan penyidik ​​turun ke TKP dan menemukan masih ada penambangan di tanah yang saya beli dari Joni Susanto melalui Sukaryono (adik Joni)”, kata Donny.
Donny mengaku kecewa dengan cara polisi menangani kasus perampasan dan perusakan tanah miliknya serta 18 pemilik dari 24 kavling yang merasa dirugikan.

“Tanah tersebut dijual atas nama perusahaan CV Sapu Jagat, yang sama persis dengan nama toko pecel Sapu Jagat di Sukaryono. Saya membelinya pada tahun 2016 hingga empat petak, yang saya rangkai menjadi dua surat,” jelas Donny. Namun, setelah menjadi milik Donny dan warga lainnya, tiba-tiba diketahui bahwa lahan tersebut telah hilang akibat penambangan pada tahun 2017. Penambangan liar tersebut kabarnya dilakukan atas izin Sukaryono yang bertindak sebagai agen pemasaran di CV Sapu. Jagat Saya tidak tahu lagi posisi tanah saya. Saya kemudian melaporkan ini ke Polres Samarinda dengan hasil seperti ini,” kesal Donny sambil menunjukkan Surat Pemberitahuan Status Hasil Penyidikan Polisi (SP2HP).

Meski begitu, Donny yang ngotot tanahnya dirusak tetap berjuang menuntut keadilan saat kembali ke Polres Samarinda kemarin (1/12). “Tadinya saya mau ketemu Jumain, mantan ketua RT 47 yang diduga kasus penambangan liar di Muang Dalam. Saya mau tanya siapa yang memberi izin menambang di tanah saya, karena dia juga menandatangani beberapa dokumen saya. punya sebagai bukti. Tapi polisi tidak akan mengizinkan dan mengatakan jika hal seperti itu akan menjadi bukti baru, “pungkas Donny, tidak mengerti apa yang memberitahu polisi.

Penambangan liar di Muang Dalam, Lempake bukanlah hal baru. Kegiatan illegal ini dilakukan sejak tahun 2016. Artinya, sudah 6 tahun penambangan liar dilakukan tanpa ada tindakan dari aparat. Baru-baru ini, aktivitas tersebut menjadi sorotan aparat penegak hukum menyusul video pengakuan Ismail Bolong, mantan anggota Polri yang mengaku sebagai pelaku penambangan liar. Untuk memuluskan aksinya, dalam video yang sudah diklarifikasi dengan video lainnya, Ismail Bolong menyetor uang koordinasi miliaran rupiah kepada petinggi Polri di Jakarta dan perwira menengah di daerah. Belakangan kasus ini membuat Ismail Bolong diburu polisi dan kasus ini juga sedang diusut KPK.

Ya, seperti bangkai yang sudah diselimuti, tapi baunya tetap tertinggal. Untuk itu, para korban penambangan liar di Muang Dalam berniat mencari keadilan atas kerusakan tanah mereka akibat kegiatan ilegal tersebut. Sebagai korban, Donny pertama kali mengungkapkan perasaannya di akun Instagram resmi Polres Samarinda. Donny menyuarakan keluh kesahnya di kolom komentar, saat akun tersebut mengunggah pernyataan mengungkap penambangan liar di Muang Dalam beberapa waktu lalu. Meski dalam keterangan tertulis tidak disebutkan kronologi penambangan lahan tersebut, Donny mengaku telah melaporkan aktivitas penambangan liar sejak 2018. Adapun dampak yang ditimbulkan dari penambangan liar tersebut, hingga saat ini belum diketahui lokasi lahan Donny karena sudah muncul di berupa cekungan galian tua dan tumpukan yang hilang (terminal, catatan redaksi).

Di sisi lain, gempuran penambangan batu bara ilegal di Lempake, Samarinda utara, memasuki situasi genting. Kegiatan pengupasan sembarangan di kawasan tersebut mengancam bencana yang bisa datang kapan saja. Seperti yang terjadi di lokasi penambangan liar di kawasan Tanjung RT 38 Lempake tepatnya di kawasan danau yang menjadi jalur dayung atau Venue pada PON XVII-2008. Pembukaan besar-besaran yang dilakukan di lahan yang berdekatan dengan lahan milik Pemkot Samarinda tidak hanya menyebabkan tercemarnya air Danau Spot Paddle yang terhubung langsung dengan Waduk Yamana, sebagai air baku yang diolah oleh Perumdam Samarinda—dahulu PDAM. Bencana lain yang akan dihadapi petani di sekitar lokasi penambangan liar adalah ancaman kerusakan areal pertanian dan perkebunan, akibat tanah longsor yang bisa terjadi kapan saja.

RESPON PENEGAKAN HUKUM LAMBAT
Baru-baru ini, Pos Samarinda mendapat laporan dari warga tentang kasus penambangan liar di sejumlah daerah yang terkesan diabaikan. Bahkan, hampir setahun tidak pernah mendapat tanggapan dari aparat penegak hukum. Padahal dalam perintahnya, Kapolri Jenderal Sigit L Prabowo menegaskan akan memberantas penambangan liar.
Seperti yang dialami Dinda Noveranica (32 tahun). Perempuan asal Samarinda, Kalimantan Timur ini memperjuangkan hak keluarganya. Tanah tempat tinggal ayahnya untuk keluarganya dirampas oleh penambangan liar. Ironisnya, saat ini ia belum mendapatkan kepastian hukum meski telah melaporkan aksi melawan hukum tersebut kepada pihak berwajib sejak November 2021.

Dari kronologi yang terungkap, pada 14 November 2021, pihaknya baru menemukan tanah peninggalan ayahnya di Jalan Pahlawan, (L1), RT 17, Dusun Rejo Sari, Desa Karang Tunggal, Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegera ( Kukar) bekerja di pertambangan ilegal. Dari penemuan tersebut, ia bertemu dengan para penambang liar. Awalnya mereka mengaku salah dan meminta penyelesaian di luar pengadilan. Namun, beberapa hari kemudian, saat dihubungi kembali, para penambang

berubah secara radikal dan mencari penyelesaian melalui pengadilan. Dinda – begitu dia disapa – mengatakan, setelah bertemu dengan para penambang liar pada 30 November 2021, pihaknya langsung melaporkannya ke Polsek Kukar. Dengan Jn dilaporkan sebagai penambang ilegal. Kemudian, berdasarkan surat pemeriksaan – Sp.Lidik/519/XII/Res.1.24/2021/Reskrim, pada tanggal 7 Desember 2021 telah diterbitkan surat pemberitahuan perkembangan hasil pemeriksaan. “Tapi untuk laporan pertama kami ke Polsek Kukar
Bisa dibilang macet,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Dinda menjelaskan pada 28 Desember 2021, pihaknya telah mengambil langkah untuk melaporkannya ke Kementerian ESDM. Akhirnya dengan bantuan Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Lana Saria laporan tersebut diteruskan ke Unit Tipidter dan kemudian diterbitkan Surat Permintaan dengan nomor Sp. Lidik/14/1/XII/Res .5.5/2022/ Reskrim pada tanggal 24 Januari 2022. Kemudian pada tanggal 8 dan 19 April 2022 mereka menerima surat panggilan pemeriksaan/klarifikasi. “Namun hingga tahap ini, belum ada tindak lanjut atas kasus perampasan lahan dengan penambangan liar. Bahkan sejauh mana proses hukum tidak diungkapkan kepada kami. Kita bisa menyimpulkan bahwa tidak ada apa-apa pada akhirnya, ”katanya.

Anggota Komisi III DPRD Kaltim Sutomo Jabir mengatakan, persoalan seperti itu sering dijumpai di lapangan. Sebagai badan pengawas, pihaknya tidak memiliki kewenangan. Bahkan Jabir – sapaan akrabnya – mengaku banyak laporan yang masuk, begitu juga anggota pansus tambang, soal penambangan liar ini. “Tapi kami tidak punya kekuatan penindakan. Jadi ada instansi terkait (penegak hukum) yang mengerti itu,” ujarnya. Pihaknya juga akan mengajak seluruh perusahaan tambang untuk mengusut keberadaan kegiatan penambangan liar di dalam atau di dalam wilayah konsesi resmi perusahaan. Pihaknya sudah sering melakukan inspeksi mendadak (sidak), namun insiden penambangan liar ini terus berulang.

“Jadi ini sudah kami sampaikan ke Kapolda, Dinas Kehutanan dan Dinas Lingkungan Hidup untuk menegakkan ini. Apalagi kalau Sebulu itu kawasan hutan. Ya, KLHK juga harus stand down,” ujarnya. Ia pun meminta yang merasa menjadi korban agar melapor ke DPRD Kaltim untuk ditindaklanjuti.”Jadi tolong laporkan ke kami Nanti, akan ditindaklanjuti sesuai komisi yang membidangi,” pungkasnya.(ok/mrf/nha)

Source: news.google.com

Related Articles

Back to top button