Berita Wisata

Profil Filep Karma, aktivis kemerdekaan Papua, ditemukan tewas di pantai

Suara.com – Kabar mengejutkan datang dari Jayapura, Papua. Aktivis kemerdekaan Papua Filep Karma ditemukan tewas di pantai di Base G Jayapura.

Jenazah Filep Karma ditemukan warga sekitar pukul 07.00 WIB. Hal itu dibenarkan Kapolres Jayapura Utara, AKP Yahya Rumra.

“Benar ada mayat yang ditemukan warga pantai di Base G, diduga Filep Karma,” kata AKP Yahya Rumra.

Meski begitu, lanjut AKP Yahya, polisi masih menunggu konfirmasi dari pihak keluarga untuk memastikan bahwa jenazah tersebut memang Filep Karma.

Baca Juga: File Karma Ditemukan Mati di Pantai Base G, Veronica Koman: Keluarga Masih Terguncang

Sementara itu, Ketua Komisi Hak Asasi Manusia Papua Frits Ramander memastikan jenazah tersebut memang Filep Karma.

Penyebab pasti kematian Filep belum diketahui, namun menurut Frits Ramandey, diduga Filep meninggal karena terseret arus saat menyelam.

Meski begitu, lanjut Frits, Komnas HAM Papua masih menyelidiki dugaan kematian Filep Karma.

Profil Profil Filep Karma

Filep Karma adalah seorang aktivis kemerdekaan Papua. Mengutip dari buku “Seolah-olah Kitorang setengah binatang”, disebutkan bahwa Filep lahir pada tanggal 14 Agustus 1959.

Baca Juga: Ditemukan Meninggal di Pantai Base G, Filep Karma Masih Pakai Perlengkapan Scuba

Sementara itu, dalam buku “Dari Roma ke Indonesia” yang diterbitkan oleh Neo Historia, Filep Karma disebut-sebut lahir di Biak.

Ia berasal dari keluarga yang sangat dihormati di daerah asalnya. Bahkan ayahnya, Andreas Karma, pernah menjadi Bupati Wamena dan Serui.

Pada tahun 1979, Filep pindah ke Solo di Jawa Tengah untuk melanjutkan studi pascasarjana di Universitas Sebelas Maret jurusan ilmu politik.

Di sana, dia sering didiskriminasi dan sebagai orang Papua, dia sering dipandang sebagai manusia yang tidak sempurna.

“Selama sekolah di Jawa, kita sering terlihat setengah binatang dari Papua. Kita dipandang sebagai evolusioner menurut teori Darwin, proses hewan berubah menjadi manusia,” kata Filep Karma dalam bukunya, “Seolah-olah kita setengah- binatang”. ‘.

Setelah lulus pada tahun 1987, Filep kembali ke Papua dan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Jayapura. Ia kemudian menikah dengan Ratu Karel Lina, seorang wanita Jawa-Melayu. Dari pernikahan ini, ia dikaruniai dua orang anak.

Pada tahun 1997, Filep melanjutkan studinya di Asian Institute of Management, Manila, Filipina. Namun sayangnya ia hanya menjalaninya selama 11 bulan dan tidak menyelesaikan studinya.

Perjuangan kemerdekaan Papua

Pada 2 Juli 1998, Filep Karma memimpin unjuk rasa di Biak, Papua. Protes menuntut kemerdekaan Papua dan dia bahkan mengibarkan bendera Binyang Kejora.

Dia dan 75 orang lainnya berkumpul, bernyanyi dan meneriakkan yel-yel kemerdekaan untuk Papua. Polisi kemudian bertindak represif dengan menembakkan gas air mata.

Namun massa tetap diam, enggan membubarkan diri dan enggan menurunkan bendera Bintang Kejora yang telah dikibarkan.

Demonstrasi berlanjut hingga 6 Juli 1998. Saat itu, polisi mengepung ratusan demonstran dan menembakkan senjata.

Peristiwa tersebut dikenal sebagai Peristiwa Biak Berdarah dan 8 orang dilaporkan tewas, namun menurut arsip LSM KontraS, ditemukan sekitar 32 jenazah misterius di pesisir Pulau Biak.

Filep sendiri selamat dan hanya terkena peluru karet di bagian kakinya. Namun, dia ditangkap karena penghasutan dan dijatuhi hukuman 6,5 tahun penjara.

Namun dia dibebaskan pada 20 November 1999 setelah menjalani hampir satu setengah tahun penjara.

Meski meminta kemerdekaan Papua, Filep mengaku menentang kekerasan dalam segala tindakannya.

di dalam buku Seperti kita setengah binatangFilep mengatakan dia ingin mempromosikan dialog dengan pemerintah Indonesia.

“Dialog antara dua orang itu bermartabat, dan bermartabat berarti tidak menggunakan kekerasan,” kata Filep.

Pada 1 Desember 2004, Filep Karma kembali ditangkap polisi atas keterlibatannya dalam pengibaran bendera Bintang Kejora di Abepura, Jayapura.

Filep ditangkap bersama aktivis Papua Merdeka lainnya, yakni Yusak Pakage. Kali ini dia didakwa dengan pengkhianatan dan penghasutan dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.

Ia kemudian ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Abepura dan dibebaskan pada 19 November 2015 setelah menerima remisi dan menjalani hukuman 11 tahun.

Kontributor: Surganya Damayanti

Source: news.google.com

Related Articles

Back to top button