Berita Wisata

Pesona Pulau Masakambing, dari dekat kakatua jambul kecil

  • Jika anda ke Pulau Masakambing, anda bisa menikmati keindahan alam pulau ini dari darat hingga laut, di pulau ini anda juga bisa menikmati kehidupan Kakatua kecil jambul belerang dari dekat di habitatnya.
  • Saat senja, kakatua berkumpul di pohon kapuk “pusat” sebelum pindah ke sarangnya masing-masing.
  • Usman Daeng Mangung, Koordinator Masyarakat Mitra Polisi Hutan Pusat Konservasi Sumber Daya Alam (Polhut BKSDA) Madura mengamati kehidupan Manusia Jambul Kuning di Masakambing. Kakatua adalah burung monogami. Dia setia pada pasangan sampai mati. Dia memilih mati sendiri daripada pindah ke hati yang lain. Usia, bisa lebih dari 50 tahun.
  • Ihsannudin, peneliti dan aktivis konservasi dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) menjelaskan bahwa untuk memelihara kakatua kecil perlu memberikan jasa lingkungan (ecos.).di sanalayanan batang), diperlukan kegiatan lain di masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran bahwa kakatua bermanfaat dan tidak merugikan.

“Kakak, kakak, adik,” kata Usman lantang.

Kami menyusuri jalan belakang, melewati pepohonan yang rindang, hingga bisa menjumpai ikon Pulau Masakambing, Kakatua kecil jambul belerang di habitatnya.

Tak lama setelah Usman memanggil burung itu, sepasang kakatua terbang di atas kepala. Mereka membuat suara keras, lalu mendarat di dahan pohon kapuk.

Randu yang disita adalah sarang di burung kakatua. Pohon itu tidak teduh atau gundul, hanya ada beberapa daun yang tumbuh di dahan pohon. Batang utama pohon itu tumbang. Di batang pohon itulah mereka bersarang.

Di sebelah randu ada kelapa, pelepahnya dipatahkan oleh kakatua. Mereka membersihkan dan menajamkan paruh setelah mengebor lubang di poplar dengan menggores dan memotong pelepah.

Usman berkata, Cacatua Sulphurea abbotti ini tidak suka bersarang di pohon yang daunnya terlalu lebat atau sebaliknya. Randu adalah sarang favorit mereka.

Usman Daeng Mangung adalah Koordinator Masyarakat Mitra Polisi Hutan, Pusat Konservasi Sumber Daya Alam (Polhut BKSDA) Seksi IV Madura yang ditugaskan di Masakambing, Kecamatan Masalembu, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur.

Beberapa Kakatua Jambul Belerang Kecil sedang bersantai.  Foto: M Tamimi/ Mongabay IndonesiaBeberapa Kakatua Jambul Belerang Kecil sedang bersantai. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

Selain randu, mereka juga bersarang di tumbuhan bakau. Ada koloni terpisah di dua wilayah. Selama tidak hujan, mereka tinggal di sarang mereka.

“Sore (kakatua) ada di mangrove. Sore kalau mau tidur di tanah,” kata Usman saat memandu wisatawan yang melihat langsung punggungan kuning pada 11 Oktober.

Beberapa menit kemudian, ketika kami masih belum bergerak, seekor burung beo muda datang. Dia bergabung dengan pasangan burung beo tadi.

“Dia anak-anak, saya tidak tahu pasangan apa … dia pasangan baru, baru tahun lalu punya satu (anak),” kata Usman.

Dalam penerbangan, mereka hanya terbang rendah di sekitar sarang, berputar di sekitar pohon sebentar, lalu mendarat lagi. Mereka bertengger berdampingan, seperti sepasang kekasih yang sedang berciuman.

Kakatua adalah burung monogami. Dia setia pada pasangan sampai mati. Dia memilih mati sendiri daripada pindah ke hati yang lain. Usia, bisa lebih dari 50 tahun.

“Jika Baik” abottiyang disimpan berumur 50 tahun dan meninggal karena jatuh ke dalam sumur,” kata Usman.

Menurut pantauan terakhir, populasi Kakatua Jambul Kecil di Masakambing sekitar 26 ekor. Usman mengatakan tahun lalu tiga menetas, satu di darat dan satu di mangrove. Namun, dia belum bisa memastikan populasi terakhir burung tersebut.

Usman Daeng Mangung, Koordinator Masyarakat Mitra Polisi Hutan, Pusat Konservasi Sumber Daya Alam (Polhut BKSDA) Madura mengamati kehidupan Manusia Jambul Kuning di Masakambing Foto: M Tamimi/Mongabay IndonesiaUsman Daeng Mangung, Koordinator Masyarakat Mitra Polisi Hutan, Pusat Konservasi Sumber Daya Alam (Polhut BKSDA) Madura mengamati kehidupan Manusia Jambul Kuning di Masakambing Foto: M Tamimi/Mongabay Indonesia

Saat ini, kata dia, belum ada tanda-tanda telur menetas. Tanda-tanda telur menetas, katanya, adalah dada induknya kotor setelah menyusui anaknya.

Anak burung kakatua yang belajar terbang akan didampingi oleh salah satu orang tuanya. Setidaknya Usman sudah dua kali melihat kejadian itu.

Kakatua muda itu terbang bersama induknya dari belakang, ketika burung muda itu hendak jatuh dan hampir mencapai tanah, induknya datang dari belakang. Ia terbang dengan cepat ke posisi tepat di bawah burung muda itu, lalu mengetuk-ngetuk burung muda itu dengan sayapnya untuk membuatnya terbang lebih tinggi lagi.

“Langsung, lurus ke depan,” kata Usman.

Matahari mulai terbenam, mega merah di ufuk barat menjadi gelap. Kami mengunjungi “Tree Central”. Pohon tengah yang diyakini sebagai kapuk, merupakan tempat kakatua bisa bermain di malam hari. Mereka berhenti di situ saja, lalu kembali ke sarangnya masing-masing saat malam tiba. Mereka akan ribut ketika sudah mengumpulkan banyak dan ingin kembali ke sarangnya masing-masing.

“Kadang-kadang bisa ada 19-20 orang berkumpul di sana.”

Pulau Masakambing di Sumenep

Benar saja, saat senja, burung kakatua mulai berdatangan satu per satu. Mereka berjejer menengadah menatap langit, mereka nangkring sebagai pasangan, meski ada juga yang terlihat sendirian. Usman menamakannya pohon pusat karena merupakan tempat berkumpulnya burung kakatua.

“Tempat pusat hanya di sore hari. Daun kapuk muda kadang dimakan.”

Dulu, kata Usman, banyak kakatua di sana, sebelum beberapa pohon yang bersarang di sekitarnya tumbang. Setidaknya ada tiga sarang di sekitar pohon pusat yang jatuh. Beberapa burung bersarang di kawasan mangrove.

Ada juga sarang buatan di sekitar pohon tetapi tidak ditempati. Mereka memilih sarang mereka sendiri.

“Sebenarnya kalau dilihat dari sarang aslinya, yang saya buat lebih bagus,” kata Usman.

Rombongan yang datang bersama kami merasa memiliki kebahagiaan tersendiri saat melihat burung langka ini secara langsung.

Michael Antony Ugiono, misalnya. Dia bilang dia bisa pergi ke kebun binatang untuk melihat kakatua tetapi ketika dia melihat burung-burung itu tepat di habitatnya, ada perasaan yang berbeda.

“Mereka itu dia langsung di alam, terus menjadi alami tanpa campur tangan manusia, sehingga terlihat sangat alami dan bebas bergerak.

Adihan Faizatul Ilma, sapaan akrab Adihan, tak jauh beda dengan Michael. Selain mendapatkan pengetahuan baru tentang kakatua, ia merasa senang.

“Aku juga baru tahu tertawa terbahak-bahakternyata kakatua atau beka’ ternyata perkembangbiakannya sulit karena hanya menghasilkan satu sampai dua telur per periode kawin,” kata mahasiswa Universitas Trunojoyo Bangkalan Kediri ini.

Keluarga Kakatua kecil jambul belerang.  Foto: M Tamimi/ Mongabay IndonesiaKeluarga Kakatua kecil jambul belerang. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

Masakambing memanggil burung ini beka. Pada 1970-an, ada ratusan burung ini. Sayangnya, dianggap hama karena melahap tanaman petani dan diburu.

Ihsannudin, peneliti dan penggiat konservasi dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM), mengatakan bahwa melindungi kakatua kecil membutuhkan jasa lingkungan (lingkungandi sanalayanan batang), diperlukan kegiatan lain di masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran bahwa kakatua bermanfaat dan tidak merugikan.

Ia mendampingi Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pulau Beka ke Desa Masakambing agar kegiatan sosial tersebut dapat membawa nilai ekonomi dan rasa bangga bagi masyarakat Masakambing. Sampai mereka mencintai dan merawat kakatua.

“Saya berusaha membuat mereka merasa ada manfaat, setidaknya ada rasa bangga,” kata Ihsannudin.

Ketidaktahuan masyarakat tentang kakatua kecil menjadi pemicu mereka berburu burung langka ini. Ihsannudin mengatakan masyarakat bertindak atas informasi yang didapat. Jika mereka mendapatkan informasi yang salah, tindakan mereka juga akan salah.

Pokdarwis Pulau Beka Desa Masakambing Kecamatan Masalembu melakukan paket wisata (perjalanan terbuka) bernama Ekowisata Beka.

Paket wisata minat khusus ini menawarkan kesempatan kepada wisatawan untuk mengamati langsung kakatua kecil jambul kuning di habitatnya. Observasi langsung atraksi burung ini menjadi andalan mereka. Selain itu, ada snorkeling.

“Kami menamakannya minat khusus karena segmen pasar pariwisata terdiri dari mereka yang tertarik pada dunia konservasi burung dan mereka yang tertarik dengan kegiatan outdoor,” kata Alam Islami, presiden Pokdarwis Pulau Beka.

Ekowisata ini harus memberikan dampak ekonomi yang positif bagi masyarakat. Beberapa rumah menjadi tempat tinggal atau homestay untuk wisatawan. Layanan penyewaan perahu dan peralatan tersedia snorkeling.

Masakambing adalah sebuah pulau kecil di kepulauan Masalembu dengan luas 7,79 km². Pulau kecil ini memiliki kekayaan flora dan fauna yang melimpah. Setidaknya ada 26 jenis fauna dan 28 jenis flora.

Tidak kurang dari lima satwa yang dilindungi, yaitu: kapten natal (fregata andrewsi), dasar laut jambul (gigi thalasseus), gajah malas (Numenius phaeopus), kotoran sapi (Falco moluccensis), dan kakatua jambul kuning (Cacatua Sulphurea abbotti).

Pulau Masakambing telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekosistem Kritis (KEE) berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/2020 tentang Penetapan Kawasan Ekosistem Kritis Pulau Masakambing.

Akses menuju Masakambing dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu Pelabuhan Kalianget, Sumenep, atau Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Kapal akan berlabuh di pelabuhan Masalembu. Dari Pelabuhan Masalembu, Anda perlu menyewa perahu menuju Pulau Masakambing dengan perjalanan sekitar dua jam.

Jalur laut yang tersedia untuk mengakses Pulau Masakambing adalah Surabaya – Masalembu – Kalianget dan Kalianget – Masalembu – Surabaya.

“Jika pemerintah menyambut baik wisata ini, katanya, maka harus ada fast boat untuk menuju Masakambing, baik dari pelabuhan Kalianget (Sumenep) maupun dari pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya),” kata Michael.

********

Source: news.google.com

Related Articles

Back to top button