Berita Wisata

Menjadi zona rendah emisi dan ramah pejalan kaki, Kota Tua, prototipe kota masa depan Jakarta

Suara.com – Kawasan wisata Kota Tua kini ditetapkan sebagai Low Emission Zone (LEZ). Selain itu, revitalisasi kota tua juga dijadikan sebagai prototype kota Jakarta masa depan, karena sejarah bangunan cagar budaya tetap terjaga dan dapat dinikmati warga sebagai ruang publik yang nyaman dan hijau, serta terhubung dengan berbagai moda transportasi umum.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif telah mengelola kawasan ini dengan mengutamakan pelestarian dan perlindungan bangunan cagar budaya. Dengan demikian, inti kota tua dapat mengurangi dan menghilangkan getaran dan kebisingan yang dapat merusak struktur bangunan.

Direktur Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi DKI Jakarta Andhika Permata mengatakan kesepakatan itu akan meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Kota Tua. Pengunjung terutama menggunakan transportasi umum, seperti kereta api komuter Transjakarta dan bus.

“Jumlah pengunjung akan meningkat dan akan lebih nyaman untuk berjalan di sekitar kota tua. Pengunjung bisa menemukan spot foto tersembunyi karena jarak berjalan kaki mereka lebih luas,” ujarnya.

Baca Juga: Pemerintah Didorong Keluarkan Bea Cukai Karbon Agar Kendaraan Listrik Lebih Menarik

Hingga Juli 2022, data jumlah pengunjung Kota Tua mencapai 688.631 orang. Sedangkan pada tahun 2021 pengunjung hanya 207.926 orang. Hal ini menunjukkan peningkatan signifikan jumlah pengunjung kawasan Kota Tua selama LEZ diterapkan dan tingkat PPKM diturunkan.

Revitalisasi kota tua

Dalam revitalisasi ini, kawasan yang menjadi LEZ adalah kawasan inti kawasan Kota Tua yaitu Jalan Kemukus, Jalan Ketumbar, Jalan Lada Raya, Jalan Stasiun Lapangan, Jalan Bank, Jalan Kali Besar. Selain itu, penataan akan dilakukan di Jalan Kunir, sehingga jalan-jalan di sekitar area pusat dapat saling terhubung dengan konsep LEZ.

Selain itu, pembangunan pedestrian, promenade dan square saat ini sedang dilakukan untuk menjadi kawasan pejalan kaki, sehingga memberikan kenyamanan, keamanan dan kesehatan bagi wisatawan.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan revitalisasi Kota Tua bertujuan menghadirkan kawasan wisata ramah pejalan kaki, diarahkan pada mobilitas aktif dan merata untuk semua serta ramah lingkungan (rendah emisi).

Baca Juga: PLN Peringkat Teratas Perusahaan Listrik Rendah Emisi, Dukung Kendaraan Elektrifikasi

“Ke depan, kita akan melihat kawasan baru yang mewakili masa depan Jakarta. Dari tempat ini, kita ingin melihat kawasan yang mengutamakan pejalan kaki, naik angkutan umum, tanpa kendaraan pribadi, agar tercipta rasa kesetaraan. ,” kata Anies.

Ia juga mencontohkan kawasan Kota Tua akan menjadi tempat yang dapat mencerminkan sila kelima, yang berlandaskan keadilan sosial tanpa memandang latar belakang. Karena konsep ruang ketiga di Jakarta diklaim sebagai ruang interaksi antar penghuni, untuk semua pengalaman dan cerita menjadi satu, menggambarkan realitas kehidupan perkotaan secara keseluruhan.

“Rasa kesetaraan itu adalah kekuatan revolusioner yang ada di kota ini, dan itu adalah masa depan. Kemudian di belakang itu ada salah satu stasiun tertua (Jakarta Kota), sekitar seratus tahun. Nanti kita juga akan melihat bahwa MRT Ada stasiun di tempat ini. Insya Allah. Insya Allah Jakarta akan terus memodernisasi untuk mencerminkan kota global,” jelasnya.

Anies berpesan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk menjaga kawasan ini ke depan. Termasuk menjaga keaslian peninggalan sejarah kampung-kampung tua di sekitar Kota Tua.

Stasiun Jakarta-Kota.  (Dok: Pemprov DKI Jakarta)Stasiun Jakarta-Kota. (Dok: Pemprov DKI Jakarta)

Pengamat urbanisme Yayat Supriyatna mengapresiasi Pemprov DKI Jakarta dalam revitalisasi kota lama karena telah mempertimbangkan dua aspek, yakni secara planologis dan sosiologis.

“Secara planologis, Pak Anies telah mereformasi struktur pelayanan publik. Misalnya, Kota Tua adalah rumah bagi pejalan kaki. Pandangan kami sejauh ini adalah mobil nomor satu, pejalan kaki di bawah. Revitalisasi ini membalikkan paradigma ini. Kalau mau ke kota lama, itu ruang pejalan kaki dan ada integrasi transportasi,” jelasnya.

Sementara itu, secara sosiologis, Yayat meyakini bahwa revitalisasi kota tua merupakan sebuah struktur dalam pembangunan budaya pusat-pusat kota yang berlandaskan pada jaringan pelayanan. Menurutnya, tidak ada gunanya membangun kota wisata, tetapi tidak ada transportasi dan jaringan air.

“Dengan demikian, tata ruang kota merupakan pengembangan pusat kegiatan yang didukung oleh jaringan pelayanan. Salah satu hal yang membuat kota tua menjadi menarik adalah terhubung dengan akses publik yang ramah dan mudah, karena esensi utama dari pembangunan kota adalah membangun masyarakat,” jelasnya.

Salah satu pengunjung, Alida, mengaku saat ini kawasan Kota Tua jauh lebih tertata dan sejuk. “Sekarang sudah banyak berubah dari sebelumnya, lebih bersih dan rapi. Semoga ke depan bisa lebih baik lagi, agar anak muda senang datang ke sini. Semua orang dari Jakarta bisa berkunjung, terutama turis asing,” ujarnya.

“Dari LEZ Anda bisa mencicipinya sekarang. Polusi berkurang, kalau dulu berasa banget kayak debu berasa banget di muka. Tapi di sini sekarang, saya sedang berjalan menuju stasiun saja. Sekarang sirkulasinya masuk, enak banget dihirup. Apalagi kalau datang ke sini pagi-pagi, kelihatannya bagus,” tambah pengunjung lain, Kirana.

Source: www.suara.com

Related Articles

Back to top button