Berita Wisata

Cerita nelayan Buleleng yang mendapat manfaat dari pengelolaan perikanan berkelanjutan

TIMESINDONESIA, DENPASAR – Pengelolaan sumber daya pesisir dan air yang berkelanjutan menjadi perhatian Yayasan Pelestarian Alam Nusantara (YKAN). Untuk itu, YKAN menginisiasi Program Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan dengan tujuan melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia.

Mengemban misi melindungi wilayah daratan dan perairan sebagai sistem penyangga kehidupan, YKAN sebagai organisasi ilmu kelautan nirlaba bermitra dengan nelayan, pemasok ikan pemerintah untuk melindungi alam, mendorong praktik berkelanjutan, mendorong kebijakan untuk mendukung pembiayaan inovatif.

Program Pemancing Peduli adalah bagian dari perikanan berkelanjutan yang saat ini YKAN tingkatkan untuk pemancing di Desa Les, Buleleng, Bali. Mereka yang tergabung dalam kelompok nelayan Segara Gunung dibekali pengetahuan tentang jenis ikan, pengelolaan keuangan nelayan untuk pendataan hasil tangkapan atau disebut Crew Operated Data Recording System (CODRS).

YKAN-Nelayan-Buleleng-2.jpgYKAN mengundang tim media untuk mengunjungi praktik pengelolaan perikanan berkelanjutan di Desa Les, Buleleng, Bali. (Foto: Tria Adha/TIMES Indonesia)

Tak hanya itu, kelompok nelayan juga mendapat dukungan peralatan seperti kamera digital, grafik pengukuran ikan hingga alat pelacak anti maling Spot Trace untuk melacak nelayan di laut.

Glaudy Perdanahardja, Manajer Perikanan Berkelanjutan Senior di YKAN, mengatakan upaya ini dilakukan untuk memastikan tata kelola perikanan di Indonesia dapat berkelanjutan. Data tangkapan ikan yang dikumpulkan oleh nelayan merupakan informasi penting bagi pengambil kebijakan untuk memahami keadaan perikanan Indonesia.

“Nanti dibuatkan rencana, program dan kebijakan”, ujar Glaudy Perdanahardja beberapa waktu lalu.

YKAN-Nelayan-Buleleng-3.jpgNelayan Desa Les (kiri-kanan) I Nyoman Sila Sucita Kary, I Gede Sumawas, I Ketut Kertasa dan I Nyoman Teriada memperagakan alat pendukung program CORDS. (Foto: Tria Adha/TIMES Indonesia)

Cerita nelayan dari Desa Les, Buleleng

I Gede Sumawas dan I Ketut Kartasa adalah dua dari 20 nelayan anggota kelompok nelayan Segara Gunung di Desa Les, Buleleng yang ditemui wartawan TIMES Indonesia saat media trip bersama YKAN.

YKAN-Nelayan-Buleleng-4.jpgMemotret dan merekam ikan yang ditangkap merupakan tugas penting bagi program Fishermen Cares. (Foto: Tria Adha/TIMES Indonesia)

Sejak usia 12 tahun, I Gede Sumawas sudah menjadi nelayan. Adapun profesi nelayan, bagi Sumawas dan keluarganya merupakan tradisi turun-temurun. Pria yang tinggal di desa Buleleng ini melanjutkan perjuangan mencari ikan yang ditanamkan ayahnya sejak kecil.

Saat ditemui, Sumawas baru berhenti setelah 3 jam melaut, ia hanya menangkap sedikit ikan. Ikan yang didapatnya adalah jenis Mahi-mahi atau Dolphin Fish. Nilai ekonominya jika dijual ke pengepul seharga Rp 15.000 per kilogram. Ia juga mendapat ikan barakuda seharga Rp 25.000 per kilogram.

“Empat bulan ini sedikit karena bukan bulan bagus (bulan yang jumlah ikannya banyak dan mudah didapat). Biasanya dalam satu bulan bagus bisa dapat 3 sampai 5 kwintal”, ujarnya.

Diakui Sumawas, saat laut “tidak bersahabat” ia hanya menangkap groundfish atau biasa disebut ikan pantai. Jika dia memaksakan diri untuk berlayar lebih jauh, itu akan memakan banyak waktu, tenaga, dan bahan bakar. Padahal kondisi ikan di laut tidak banyak.

YKAN-Nelayan-Buleleng-5.jpgNelayan Desa Les, Buleleng, Bali, I Gede Sumawas menunjukkan hasil tangkapan ikan Baracuda (kanan) dan ikan Mahi-mahi (ikan lumba-lumba). (Foto: Tria Adha/TIMES Indonesia)

“Untuk bertahan hidup kalau di tengah tidak ada ikan, kita cari ikan di pinggir atau di bawah sebanyak-banyaknya, apalagi sekarang BBM mahal, biasanya bulan Desember banyak ikan,” katanya sambil menunjukkan ikan yang ditangkapnya.

Tangkapannya adalah sekelumit kisah Gede Sumawas. Pria berusia 53 tahun itu juga hanyut di laut setelah mesin kapalnya rusak. Dia tidak bisa pulang. Namun, tim YKAN berhasil menemukan Sumawas setelah diserahkan oleh keluarganya. Berkat alat pelacak anti maling Spot Trace yang dipinjamkan YKAN kepada Sumawas, YKAN dapat melacak posisi akhirnya.

Lain cerita dengan I Ketut Kartasa. Penghasilannya meningkat hingga 80% berkat DCP yang ia dirikan bersama 20 nelayan Segara Gunung dan program Nelayan Peduli YKAN. Rumpon dipasang di perairan dangkal dan dalam. Fungsinya untuk menarik gerombolan ikan berkumpul di sekitar rumpon agar mudah ditangkap.

Rumpon di Desa Les, Buleleng, Bali pada awalnya dibawa oleh seorang prajurit TNI-AL pada tahun 1989. Teknik penangkapan rumpon ini efektif dan efisien meskipun relatif mahal. Ketut Kartasa, bersama 20 nelayan lainnya, membentuk usaha patungan dan menghabiskan Rs 30 juta untuk membuat rumpon. Grup tersebut sekarang memiliki dua DCP. DCP bisa menghasilkan Rp 70 juta.

YKAN-Nelayan-Buleleng-6.jpgRumpon milik nelayan dari Desa Les, Buleleng, Bali. (Foto: Tria Adha/TIMES Indonesia)

Penghasilan I Ketut Kartasa tidak hanya berasal dari rumpon. Itu juga memperoleh pendapatan dari program Nelayan Peduli. Kartasa mendata ikan yang ditangkapnya. Data tersebut meliputi foto ikan yang telah diukur panjang dan ukurannya serta alat tangkap yang digunakan. Berdasarkan data tersebut, Kartasa mendapatkan insentif sebesar Rp 1,5 juta.

Diakui Kartasa, melalui program Nelayan Peduli, ia bisa melacak penghasilannya. “Dulu saya tidak teratur (pengeluaran dan pemasukan), akhirnya saya ketemu YKAN, diajari akuntansi, jadi tercatat umpan berapa penghasilan saya, didukung istri saya juga”, ujarnya.

YKAN-Nelayan-Buleleng-7.jpgMunculnya desa nelayan di Buleleng Bali tepatnya di The Villages. (Foto: Tria Adha/TIMES Indonesia)

Ketut Kartasa juga menambahkan, insentif yang mereka dapatkan dari program Peduli Nelayan digunakan mereka untuk membeli sampan dan membuat rumpon.

“Saya sudah menabung. Dari berkas itu bisa dilihat berapa penghasilan saya. Sekarang saya bisa membeli kapal fiber seharga Rp 17 juta dan bisa membuat satu rumpon lagi,” ungkapnya.

**) Ikuti berita terbaru KALI Indonesia di berita Google

Klik link ini dan jangan lupa follow.

Source: news.google.com

Related Articles

Back to top button