Berita Wisata

Dua dekade bombardir Bali I, Kadensus 88 melepasliarkan penyu dan merpati di pantai Bengiat

Membebaskan Penyu dan Merpati merupakan rangkaian kegiatan peringatan bom Bali bertema Harmony in Diversity, di Pantai Bengiat, Nusa Dua, Rabu (12/10/022). (adalah)

KUTSEL – Ratusan penyu dan merpati dilepasliarkan bertepatan dengan peringatan tragedi bom Bali I, di Pantai Bengiat, Nusa Dua, Rabu (10/12/2022).

Bagian dari rangkaian kegiatan yang bertajuk Harmony in Diversity ini dipimpin langsung oleh Kapolres AT 88, Irjen Pol Marthinus Hukom.

Dalam sambutannya, katanya, pelaksanaan kegiatan tersebut sekaligus merupakan wujud nyata dari semangat gotong royong untuk menciptakan perdamaian tanpa kekerasan. Untuk itu, ia membutuhkan bantuan dan dukungan semua pihak.

Baginya, pelepasliaran penyu dan merpati dalam rangka peringatan bom Bali memiliki tiga nilai penting. Yaitu menjaga nilai kehidupan, kebebasan dan keseimbangan.

“Sejauh menyangkut kehidupan, kita berdua adalah manusia. Dan manusia, siapa pun mereka, memiliki hak untuk hidup. Tidak ada manusia yang berhak mencabut nyawa orang lain,” katanya.

Berbicara tentang kehidupan, ia juga berbicara tentang martabat manusia. Dan terkadang terorisme terjadi karena ada orang yang ingin diakui martabatnya. Namun mereka lupa bahwa semua harkat dan martabat manusia memiliki hak yang sama untuk hidup saling menghormati.

“Ketika kita merasa martabat kita lebih tinggi, saat itulah terjadi superioritas dan kezaliman terhadap orang lain,” ujarnya.

Hal ini, lanjutnya, kemudian berkaitan dengan nilai kebebasan. Karena dalam hidup kamu harus bebas mengekspresikan nilai apapun yang kamu yakini, selama tidak bertentangan dengan nilai sosial yang ada.

“Kebebasan juga dibatasi oleh kebebasan orang lain. Jadi ketika kita berbicara tentang kebebasan, kebebasan akan berhenti tepat di ujung kebebasan orang lain,” katanya.

Sedangkan nilai ketiga, yaitu keseimbangan. Pelepasan penyu dan merpati, kata dia, merupakan bagian dari penerapan nilai keseimbangan dengan lingkungan.

“Ketiga nilai ini terkait dengan apa yang kita peringati hari ini, yaitu peringatan 20 tahun bom Bali I. Tragedi kemanusiaan yang terjadi merampas hak orang lain untuk hidup, untuk mengakui martabat mereka sendiri. Ini yang harus kita hindari semua. Sehingga dengan menghargai kehidupan, menghormati harkat dan martabat, serta menghargai keseimbangan, kita yakin akan hidup berdampingan dengan damai dan aman”, tutupnya.

Hal senada disampaikan Zanubba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid yang turut hadir dalam rangkaian kegiatan tersebut. Mengutip ucapan ayahnya, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ia menegaskan bahwa Tuhan tidak perlu dibela. Karena yang harus dibela adalah makhluk yang dianiaya oleh orang lain.

“Kami melihat tragedi bom Bali menggambarkan semua ini. Bahwa ada orang yang mengatasnamakan Tuhan kemudian melakukan aksi terorisme, menyakiti orang lain yang juga makhluk Tuhan,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Kadensus 88, juga menyebutkan bahwa pelepasan dilakukan untuk memperingati kehidupan dan untuk mengingat komitmen perang melawan terorisme. Apalagi untuk menegaskan bahwa satu-satunya cara untuk memuliakan Tuhan justru dengan melindungi seluruh makhluk-Nya.

“Ada begitu banyak faktor yang mendorong orang untuk melakukan aksi radikal. Salah satunya adalah perasaan putus asa, kecemasan, kecemasan, pesimisme tentang masa depan, perasaan ketidakadilan. Semua ini dapat mendorong orang untuk menjadi radikal dengan mudah, terutama jika mereka kemudian bertemu dengan mentor yang menggunakan bahasa yang langsung mengarah ke sisi emosional. Biasanya bahasa agama dan bahasa politik,” jelasnya.

Kecemasan seperti itulah yang dia rasa perlu diatasi bersama.

“Saya ambil contoh peristiwa Kanjuruhan. Saya ingin mengingatkan kepada pemerintah bahwa para korban Kanjuruhan harus didampingi, bahwa mereka harus mendapatkan pelepasan trauma dan harus dipastikan mereka mendapat terapi, agar tidak timbul perasaan dendam pada mereka.”, tegasnya.

“Karena bila itu muncul, maka mereka akan sangat mudah untuk meradikalisasi. Selain itu, kemudian timbul perasaan terhadap negara atau terhadap lembaga-lembaga negara. Oleh karena itu, melalui momen ini, saya berharap ada bantuan bagi para korban kekerasan. Kejadian kanjuruhan. Khususnya bagi anak-anak kecil, agar mereka lebih memahami apa yang terjadi dan masalahnya. Kemudian dapat menerima dengan lapang dada dan tidak menyalahkan negara atas peristiwa yang terjadi,” sambungnya.

Tragedi bom Bali, kata dia, merupakan tragedi yang mengerikan bagi kemanusiaan. Khususnya bagi masyarakat Indonesia, dan masyarakat Bali pada khususnya. Namun, dia percaya ada hal baik yang keluar dari tragedi. Salah satunya adalah keputusan cepat pemerintah membentuk Densus 88 dan berhasil membongkar, menangkap dan mengadili jaringan teroris yang berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah dan Al Qa’idah.

“Semua ini adalah upaya untuk mengamankan masa depan kita. Kita tentu tidak bisa membayangkan bahwa jaringan teroris ini masih berkeliaran di antara kita. Jadi saya sangat mengapresiasi kerja Densus dalam mendeteksi, mencegah, mendisrupsi dan mengurangi aksi teror. Oleh karena itu, kita harus menghargai kerja polisi dan kerja sama internasional yang telah dilakukan dengan aparat keamanan negara lain. Karena berkat ini, jaringan teroris di Asia Tenggara akhirnya terekspos dan menciptakan rasa aman di masyarakat,” pungkas aktivis Nahdlatul Ulama.

Catatan, selain outing, kegiatan Harmony in Diversity juga dirangkaikan dengan Program Reuni di hotel Merusaka, Nusa Dua. Setelah itu, pada malam harinya, para peserta melanjutkan perjalanan ke Ground Zero Kuta untuk mengikuti acara peringatan berupa pemutaran film pendek Bom Bali I, doa lintas agama, peletakan karangan bunga dan mawar, serta tarian dan puisi. pertunjukan. (memiliki Dijon)

Seperti itu:

Saya suka memuat…

Source: wartabalionline.com

Related Articles

Back to top button