Berita Wisata

Hadiri perayaan Imlek di kota seribu kelenteng ini

Nusantaratv.com – Seringkali orang bertanya bagaimana suasana perayaan tahun baru di suatu kota. Pertanyaan serupa muncul kembali ketika datang tahun baru dalam penanggalan Tionghoa yang tertulis 2574 Kongzili.

Kota Singkawang di Kalimantan Barat merupakan kota yang selalu membangkitkan rasa penasaran akan perayaan tahun baru berbasis kalender dengan melihat lalu lintas bulan ini.

Kota Singkawang berjarak sekitar 145 kilometer dari kota Pontianak. Menurut data BPS tahun 2020, jumlah penduduk kota ini mencapai 235.064. Sekitar 35-40% penduduknya adalah keturunan Tionghoa (masih perkiraan).

Meski tidak ada angka pasti mengenai jumlah warga Tionghoa di sana, namun melihat penduduk setempat yang berduyun-duyun mulai dari gerbang kota hingga pusat kota dan perkampungan, dapat disimpulkan (sementara) bahwa populasi Tionghoa cukup dominan di sana.

Kota Singkawang merupakan kota yang dijuluki “kota seribu candi”. Biasanya setiap perayaan tahun baru Imlek disambut dengan sangat meriah oleh masyarakat. Namun yang unik, saat Imlek, masyarakat etnis Tionghoa akan menghiasi rumah dan kotanya dengan dekorasi dan ornamen yang berwarna-warni.

Hiasan yang masih ada berupa lampion, patung hewan, dan tanaman/pohon artifisial. Warna yang dominan adalah merah, kuning (emas), jingga dan merah jambu (merah muda). Warna yang melambangkan semangat, keberuntungan dan kemakmuran.

Warna merah ditampilkan mulai dari lampion-lampion yang digantung di teras-teras rumah, jalan utama atau jalan utama, hingga jalanan di gang-gang dan perkampungan setempat. Kuning atau emas serta corak putih pada patung tersebut, dan kali ini disebut Tahun Kelinci Air. Dengan demikian, patung kelinci emas dan putih menghiasi banyak tempat di kota.

Berikutnya, warna jingga pada lampu pada hiasan gantung. Sedangkan pohon atau tanaman artifisial yang diekspos adalah tanaman Mei (Mei Hwa) yang bunganya berwarna merah muda. Mei Hwa memiliki simbol harapan.

Orang Cina Singkawang mendekorasi rumah mereka dengan warna-warna ini. Pemerintah kota mengerahkan lembaga lokal untuk mendekorasi gedung perkantoran dengan dekorasi dan warna yang serasi.

Selain dekorasi dan ornamen, penduduk setempat mempraktikkan tradisi leluhur, yaitu mengunjungi pura pada malam menjelang tahun baru. Mereka berdoa sambil membawa makanan seperti ayam, daging (babi), buah (jeruk) dan kue keranjang.

“Namanya sembahyang ayam. Pelaksanaannya di pagi hari menjelang datangnya tahun baru,” kata pengurus Yayasan Tri Dharma Vihara Bumi Raya, Thjai Kun Bui atau Pak Abui.

Setiap penduduk datang ke vihara membawa persembahan. Usai salat, ayam dan dagingnya dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarga. Selama ini, kue dan buah-buahan selalu diletakkan di atas meja persembahan kuil.

Usai solat ayam, keluarga melanjutkan kegiatan packing dan memasak. Masak ini untuk persiapan makan besar. Makan besar diatur dari tengah hari hingga malam sebelum kedatangan tahun baru.

Jadwal makan besar disesuaikan dengan keadaan kesiapan keluarga, bisa siang, sore atau malam hari. Makan bersama dilakukan bersama orang tua. Jika dalam satu keluarga inti (terdiri dari ayah, ibu dan anak) masih ada orang tua (kakek-nenek), maka makan besar dilakukan bersama kakek-nenek.

Jika tidak ada kakek-nenek, makan besar diadakan di rumah keluarga inti. Selama makan besar inilah seluruh keluarga berkumpul. “Anak saya makan di rumah saya saat makan besar,” kata Pak Abui.

Saat makan besar ada pembagian amplop merah (uang dalam amplop merah).

Kakek dan nenek memberikan bingkisan merah kepada cucu mereka. Ayah dan ibu memberikan bingkisan merah kepada anak-anaknya (yang masih kecil). Jika ayah dan ibu masih memiliki orang tua, mereka harus memberikan paket merah kepada orang tuanya.

Setelah makan besar, umat Khonghucu akan pergi ke pekong (thai pakkung) untuk melakukan ritual sembahyang Imlek dengan membakar senggi. Mereka berdoa di tempat suci leluhur masing-masing, beberapa di antaranya terletak di pedalaman dan dekat laut.

Umat ​​Buddha berdoa di biara atau kuil umum. Salah satunya adalah Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang berusia sekitar 144 tahun, di pusat kota Singkawang. Warga yang beribadah di sini ramai mulai pukul 20.00 WIB hingga dini hari Imlek ke-1.

Suasana paling meriah adalah pada pukul 24.00 WIB atau tanggal 1 Imlek. Kemudian berlanjut hingga pukul 02:00 WIB hingga pukul 04:00 WIB.

Selain itu, mulai tahun ini juga ada vihara besar yaitu Vihara Sui Kheu Thai Pak Kung. Vihara ini diresmikan pada 22 Oktober 2022. Letaknya di Jalan Sanggau Kulor, Roban, Kecamatan Singkawang Tengah. Biara membutuhkan waktu 11 tahun untuk dibangun dan konstruksi terhenti selama pandemi.

Setelah peresmiannya, ribuan orang pergi ke sana. Selain berdoa atau sembahyang, masyarakat umum juga datang untuk berfoto dan memotret bangunan megah vihara ini.

Salah seorang pengunjung, Felix, mengaku sengaja datang untuk salat Imlek meski sebelumnya sempat salat di pura kampung halamannya di Pemangkat, Kabupaten Sambas.

Pria berusia 22 tahun ini tinggal di Yogyakarta. Dia kembali ke rumah untuk melihat orang tuanya dan merayakan Tahun Baru Imlek. Dia bepergian dengan orang tuanya dan berhenti di biara yang indah untuk berdoa.

Sedangkan bagi warga Tionghoa yang memeluk agama Kristen (Katolik dan Protestan), beribadah di gereja. Salah satunya di Gereja Santo Fransiskus Asisi di Jalan Diponegoro, Pasiran, Singkawang Barat. Gereja ini banyak dikunjungi warga Tionghoa untuk ibadah Imlek pada Minggu (22/1).

kelinci air

Malam Tahun Baru Imlek 2574 Kongzili tiba pada Sabtu (21/1) tengah malam. Acara penyambutan ditandai dengan pesta kembang api di teras depan Vihara Tri Dharma Bumi Raya. Kembang api dandelion dinyalakan pada pukul 20.30 WIB. Cara menyalakannya dengan membakar sudut kotak kemasan.

Pembakaran kembang api dilakukan oleh Wakil Ketua Panitia Perayaan Imlek dan Cap Go Meh 2023 Singkawang, Thjai Chui Mie.

Ribuan orang yang menunggu setelah matahari terbenam tercengang melihat kembang api meletus ke udara. Bukan hanya warga lokal, namun ada ratusan warga dari etnis lain dan wisatawan yang sengaja datang ke kota tersebut.

Kembang api melesat di udara dan melesat melintasi langit dengan semburan kuning cerah seperti bunga dandelion. Koneksi menghubungkan hingga enam kotak kembang api setelah dinyalakan.

Kembang api juga ditembakkan di kuil kecil lainnya. Panitia Imlek memperkirakan terdapat lebih dari 1.000 kelenteng di kota ini yang wilayah baratnya berbatasan dengan Laut Cina Selatan.

Angka perkiraan untuk seribu kelenteng didasarkan pada angka yang diketahui Panitia Tahun Baru Imlek. Khusus klenteng umum ada sekitar 200-an. Sedangkan klenteng privat bisa mencapai ribuan unit. Karena panitia menerima pendaftaran dari pura biasa, miniatur pura dan yang bertatung (lauya), maka jumlah pura yang mengikuti Cap Go Meh mencapai 717 pura.

Artinya, ada ribuan candi di Kota Singkawang, kata Tjhai Chui Mie.

Penghitungan jumlah candi berdasarkan jumlah tatung (lauya) karena ganti rugi yang diberikan kepada mereka. Tatung adalah seorang lauya (dukun) yang dirasuki roh leluhur. Ada tatung yang menggunakan tandu dan ada tatung pejalan kaki. Mereka mewakili candi yang tersebar luas di Singkawang.

Ratusan tatung ini nantinya akan menghidupkan Cap Go Meh, perayaan hari ke-15 Imlek pada 5 Februari 2023.

Tjhai Chui Mie mengatakan tahun baru ini akan lebih ramai karena banyak warga yang merantau bisa kembali ke kampung halamannya. Dua tahun tidak bisa dirayakan secara besar-besaran. Tahun ini sangat meriah dan panitia menyambut kedatangan para perantau dengan rangkaian acara dari tanggal 20 Januari hingga 6 Februari.

“Panitia juga sangat senang dengan suasana penyambutan Tahun Baru Imlek 2574, tahun Kelinci Air,” ujarnya.

Selain pura, kembang api dan petasan juga ditembakkan ke rumah-rumah penduduk setempat. Beberapa warga masih percaya bahwa menyalakan kembang api dan petasan akan mengusir roh jahat, sehingga tidak akan mengganggu kehidupan manusia di tahun depan.

Usai pesta kembang api, pada 1 Imlek, Singkawang Chinese News akan membuka pintu bagi para sahabat dan relasi atau masyarakat umum untuk tetap bersilaturahmi seperti Idul Fitri.

Tradisi ini berlangsung berhari-hari hingga Cap Go Meh tiba. Hidangan yang disajikan mirip dengan lebaran pada umumnya, ada kue dan minuman.

Namun yang membedakan biasanya sajian kue keranjang yang selalu ada di meja tamu. Keranjang kue juga ditemukan di rumah-rumah Tionghoa di Pontianak dan sekitarnya.

Hal menarik lainnya saat Imlek di Singkawang adalah penampilan di Stadion Kridasana, Pasiran, Kabupaten Singkawang Barat.

Pameran tersebut dihadiri oleh pengusaha UMKM lokal. Dalam pameran tersebut terdapat replika perkampungan Tionghoa dan taman kelinci. Penduduk setempat dan wisatawan dapat mengunjungi pameran ini untuk berswafoto dengan simbol Imlek dan memasuki desa replika dengan membayar pajak “beri makan kelinci” sebesar Rp 20.000 per orang.

Di replika terdapat spot foto yang menggambarkan suasana khas pedesaan dengan dinding rumah bercorak batu alam berwarna abu-abu. Bangunan semi permanen dengan wallpaper besar yang menggambarkan suasana desa di China.

Kemudian di sisi kanan kandang berisi 11 ekor kelinci putih, abu-abu dan hitam. Lambang kelinci tahun ini adalah tahun Kelinci Air. Orang Tionghoa percaya bahwa tanda Kelinci Air menandakan kedamaian, harapan, kemakmuran, dan umur panjang.

Semoga harapan tersebut dapat terwujud di tahun ini. (semut)

Source: news.google.com

Related Articles

Back to top button