Berita Wisata

“Hanya Bayar”, sebuah fenomena monetisasi pariwisata multi-tiket

JAKARTA – Mengunjungi tempat wisata tentunya sudah menjadi kegiatan tersier yang dilakukan oleh banyak orang dari berbagai belahan dunia. Bepergian dari satu tempat ke tempat lain sudah menjadi hal yang lumrah yang bisa ditemui hampir setiap hari di berbagai jejaring sosial.

Bersantai setelah seharian bekerja dari pagi hingga malam atau sekadar membenamkan diri dan berteman dengan damai, menjadikan tempat wisata sebagai alternatif pelarian.

Namun, pernahkah terpikir oleh Anda mengapa beberapa tempat wisata “memaksa” pengunjung untuk merogoh kocek lebih dalam untuk wahana di tempat wisata yang destinasinya sudah memiliki HTM tersendiri?

Pernahkah Anda berpikir untuk memasukkan tempat wisata murah atau mahal yang Anda kunjungi? Baca deskripsinya.

Padahal, praktik “bayar saja” di tempat wisata sudah ada sejak lama. Tidak diketahui sejak kapan fenomena ini dipraktekkan di tempat-tempat wisata. Namun, yang jelas hal ini terjadi karena telah terjadi pergeseran besar dalam kegiatan perjalanan masyarakat dari yang semula hanya perjalanan satu arah, industri pariwisata yang menguntungkan.

Pengamat pariwisata dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Chusmeru mengatakan, pariwisata sebagai industri menjanjikan “kue besar” perekonomian yang dibantah banyak pihak.

Sejak itu, semua orang ingin menjadi bagian dari industri pariwisata. Termasuk kemudian, banyak orang yang ingin mengenakan tarif lain di tempat wisata selain tiket resmi yang sudah disiapkan pengelola.

“Sebuah tujuan wisata menerapkan Tiket lagi di luar tiket masuk karena banyak hal. Salah satunya karena di daerah tujuan wisata banyak pihak yang terlibat dalam pengelolaan obyek dan wahana wisata. Dalam satu tujuan mungkin ada dua, tiga atau lebih atraksi dan wahana yang dioperasikan oleh banyak pihak yang berbeda, jadi semuanya berlaku Tiket“Chusmeru menjelaskan kepada berita yang valid, Senin (19/9).

Chusmeru menambahkan, fenomena ‘pembayaran saja’ ini memang bisa menciptakan citra buruk sebuah destinasi wisata. Kesan pertama tentu akan menimbulkan persepsi harga yang tinggi untuk suatu destinasi wisata. Selain itu juga dapat menimbulkan kesan pemerasan (illegal taking) jika Tiket tidak disertai dengan bukti tiket bagi pengunjung.

“Seharusnya agar lebih efektif dan efisien, tiket masuk suatu destinasi sudah tersedia untuk mengerti sehingga pengunjung dapat menikmati beberapa objek dan wahana wisata yang ada. Supaya wisatawan tidak bingung dan harus melewati beberapa kali,” kata Chusmeru.

Normalisasi tempat wisata “palsu” yang murah
Standarisasi murah dan mahal bagi pengunjung sebenarnya lebih bernilai secara psikologis. Asalkan memuaskan, biaya kunjungan yang tinggi tidak menjadi masalah.

Berlawanan dengan cara pandang masyarakat lokal, tindakan murah dan mahal lebih bersifat sosiologis. Penduduk setempat menganggap atraksi di daerah mereka sebagai milik mereka.

Dengan demikian, mereka berhak menikmati objek wisata dengan harga yang ekonomis atau bahkan sesuai dengan daya belinya, meskipun gratis. Harga tiket objek wisata yang mahal bagi warga sekitar umumnya akan dipandang tidak adil dan diskriminatif.

Ditanya tentang wisata terkenal “murah” di Yogyakarta, Chusmeru mengatakan kriteria “murah” di Yogyakarta lebih dari segi sosial budaya. Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar dan kota budaya, khususnya pada periode 1970-1990.

“Biaya hidup, sekolah dan kuliah, serta jalan-jalan ke Jogja masih sangat murah. Kunjungan wisatawan mancanegara juga didominasi oleh wisatawan. pejalan kaki yang menginap murah di sekitar Jalan Pasar Kembang, Sosrowijayan dan sekitar Malioboro,” kata Chusmeru.

Chusmeru menambahkan, ketika industri pariwisata berkembang pesat di Indonesia, termasuk Yogyakarta, terjadi perubahan karakteristik wisatawan yang berkunjung ke kota ini nantinya.

hotel berbintang, villa, bungalo, homestay, dan berbagai tempat wisata baru sudah mulai dibangun di Yogyakarta. Pariwisata di kota ini tidak lagi dilabeli “murah”. Untuk sekadar menikmati kuliner malam di sepanjang Jalan Malioboro, kini beragam kuliner dengan harga yang “lebih gas” mulai bermunculan di kalangan wisatawan.

“Solusi terbaik untuk ‘hanya membayar’ adalah dengan menerapkan konsep Tujuan tunggal, manajemen tunggal. Dengan konsep ini, sebuah destinasi wisata akan dikelola oleh satu manajemen, baik pemerintah daerah, BUMD, maupun swasta. Dengan demikian, siapapun yang mengelola objek wisata tersebut akan menerapkan harga tiket masuk destinasi yang diinginkan untuk mengerti memanfaatkan objek dan wahana wisata yang ada,” pungkasnya.

Pengunjung hanya membayar sekali untuk menikmati berbagai objek dan atraksi wisata. Konsep one stop management juga dapat meminimalisir konflik manajemen dan penerapan harga tiket yang tidak wajar, jelas Chusmeru sembari mengakhiri pembicaraan dengan berita yang sah.

Source: www.validnews.id

Related Articles

Back to top button