Berita Wisata

Jelajahi kekayaan alam dan budaya masyarakat Kolaka

Tarian khas kerajaan Mekongga yang masih dilestarikan masyarakat Kolaka (Sumber: Dok. Antam)

Penulis: Meirna Larasati

KOMPAS.TV – Kolaka merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara yang menyimpan berbagai kekayaan alam dan budaya. Satu-satunya bandara di Kolaka adalah Bandara Sangia Nibandera yang merupakan satu-satunya bandara di Kolaka yang merupakan hasilnya tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Kolaka.

Sugeng Haryono selaku ahli perencana Bandara Sangia Nibandera menjelaskan arti nama Sangia Nibandera, yaitu raja pemilik bendera. Nama tersebut digunakan di bandara ini sebagai penghormatan kepada seorang raja. Bandara ini dibangun pada tahun 2014 dan telah beroperasi sejak 7 September 2015.

Banyak perubahan yang terjadi setelah dibangunnya bandara ini, terutama manfaat yang dirasakan oleh masyarakat setempat. Keberadaan bandara ini banyak menyerap tenaga kerja khususnya di bidang transportasi dan merupakan moda transportasi yang memudahkan tugas masyarakat. Sugeng berharap bandara ini dapat terus berkembang seiring Antam menjalankan kegiatan industrinya di wilayah Kolaka.

Baca Juga: Menelusuri Proses Penambangan Batu Bara di Sumatera Selatan

Di sisi lain, Kolaka juga punya destinasi wisata unggulan yang memanjakan mata, yakni Tamborasi. Pengunjung bisa menikmati dua destinasi wisata sekaligus di Tamborasi, yakni pantai dan sungai.

Selain pantai pasir putihnya yang indah, di Tamborasi terdapat sebuah sungai dengan predikat sungai terpendek di dunia. Panjang dari hulu ke hilir hanya 20 meter. Dengan demikian pengunjung dapat langsung melihat pertemuan arus antara hilir sungai dan air laut, suhu air sungai dan air laut juga berbeda. Jika air lautnya sedikit hangat, maka air sungainya dingin dan segar.

Kekayaan budaya Kolaka

Selain mengunjungi destinasi wisata, terdapat kekayaan budaya di Kolaka, salah satunya adalah cagar budaya Kerajaan Mekongga. Pengunjung dapat melihat replika rumah adat Mekongga dan meminjam pakaian adat sebagai bentuk pelestarian budaya.

Jayadin, selaku Ketua Dewan Adat Mekongga, menceritakan apa saja yang tersisa di sana. Uniknya, ada prosesi penyambutan tamu oleh masyarakat Kolaka yang wajib diikuti pengunjung.

Presiden Dewan Adat Mekongga Jayadin (tengah) dan Raja Muda Mekongga Munaser (Sumber: Dok. Antam)

Masyarakat Kolaka juga melestarikan beberapa kebudayaan turun-temurun, diantaranya jelek. Aktivitas jelek artinya api penyucian dilakukan untuk menyatukan beberapa kelompok yang berkonflik. Misalnya, perselisihan saat Pilkada untuk dilaksanakan jelek membersihkan negara secara keseluruhan serta diri sendiri.

Ada juga mesosabakai, semacam akikah ketika ada bayi yang baru lahir. Kebiasaan ini dilakukan dengan harapan agar anak tumbuh sehat, terhindar dari hal-hal negatif dan berbakti kepada tanah air, agama, orang tua dan daerah.

Jayadin juga menceritakan banyaknya peninggalan Kerajaan Mekongga, seperti keris emas peninggalan raja pertama, sarung yang konon dipakai raja saat turun dari kayangan, dan harta peninggalan raja dan ratu terdahulu. . .

Budaya lain yang masih dilestarikan adalah tarian tradisional kerajaan Mokongga. Tari tradisional disebut tarian ulo sangia Dahulu dilakukan oleh masyarakat untuk memohon kesembuhan bagi raja. Belum lagi masyarakat setempat yang masih melestarikan makanan khas dan kain tenun Kolaka.

Baca juga: Dukungan Antam UBP Emas Pongkor Kepada Masyarakat Desa Cibuluh

Lebih lanjut MP Raja Mekongga Munaser menjelaskan kain tenun khas Kolaka memiliki corak yang beragam. Pola tenunan khas Mekongga termasuk pola bokioh berupa tumpal atau replika rumah asli raja. Teknik yang digunakan untuk membuat kain tenun disebut Tolong yang berarti menenun.

Konon, rumah adat yang masih ada di Kolaka ini merupakan replika dari rumah asli raja terakhir. Pada tahun 1940, rumah raja yang asli tersapu dan hancur di sungai, sehingga dibuat replikanya. Pada tahun 2002 diadakan seminar untuk merancang replika rumah yang sudah ada dan pembangunannya dimulai pada tahun 2003.

Source: news.google.com

Related Articles

Back to top button