Berita Wisata

Landmark Tebing Harau menggelapkan jalan dari Ranah Minang Geopark ke Unesco Global Geopark

Langgam.id – Lembah Harau merupakan salah satu bentang alam yang ingin diusulkan oleh provinsi Sumatera Barat (Sumatera Barat) untuk menjadi UNESCO Global Geopark (UGG) pada tahun 2023. Lanskap yang diusulkan disebut Ranah Minang Geopark (GRM), yang meliputi sejumlah Geopark nasional di Sumatera Barat yaitu Geopark Ngarai Sianok Maninjau, Geopark Sawahlunto dan Geopark Silokek.

Juga, itu termasuk Talangmau, Singkarak dan Geopark Gua Batu Kapal. Ketiga geopark ini, serta Lembah Harau, belum berstatus geopark nasional. Keempat geopark tersebut masih menunggu penetapan warisan geologi dari Kementerian ESDM sebagai salah satu syarat pengajuan geopark nasional.

“Ada 11 kabupaten dan kota di Sumatera Barat yang memiliki kekayaan keunikan geologis, arkeologis, ekologis, dan budaya yang dikenal sebagai Geopark. Oleh karena itu, pada tahun 2023, kami bertujuan untuk mengusulkan agar Geopark Ranah Minang menjadi Geopark Global UNESCO,” Kata Gubernur Sumbar Mahyeldi dalam satu kesempatan.

Sebelum harapan UNESCO Global Geopark menggores dinding sisa-sisa patahan yang membentuk punggungan yang mempesona, Lembah Harau bisa menjadi batu sandungan kegagalan.

Memang, proyek Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumbar untuk membangun landmark (huruf raksasa) di salah satu tepi Lembah Harau dianggap mengubah orisinalitasnya. ; salah satu peringkat UGG.

“Dari segi kondisi, tidak ada patokan. Prioritasnya adalah keaslian situs dan warisan geologi serta kegiatan yang harus dilestarikan dan dikembangkan (demi kepentingan lingkungan yang berkelanjutan),” jelas Surya Rosa Putra, Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap Republik Indonesia untuk UNESCO untuk edisi 2018 – periode 2021.

Surya Rosa, guru besar Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, makan garam soal pengakuan UNESCO.

Selama menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk UNESCO, ia menjadi aktor utama dalam peluncuran prasasti Tambang Batubara Ombilin, Pencak Silat, Pantun, Geopark Kaldera Toba dan Geopark Belitong serta beberapa Cagar Biosfer Warisan Dunia UNESCO Indonesia.

Keberhasilan pertambangan pusaka Ombilin atau pusaka pertambangan Sawahlunto (OMCHS) menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO pada tahun 2019, juga ada kontribusi dari Surya Rosa saat menjadi Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap Republik Indonesia untuk UNESCO.

Maka kemampuan Surya Rosa menilai kelayakan suatu objek untuk diajukan pengakuan UNESCO tidak perlu diragukan lagi.

“Geopark Indonesia dijalankan oleh alumni ITB 81, termasuk saya sendiri,” kata Surya Rosa.

Kembali ke isu tugu Taman Wisata Alam Lembah Harau (TWA) yang diusung BKSDA Sumbar melalui akun Instagramnya, Surya Rosa bertanya-tanya mengapa “kita” masih membutuhkan plakat. Meski sudah ditinggalkan.

“Keberadaan satu desa Eropa merusak. Inti dari sebuah geopark bukanlah pariwisata, tetapi konservasi, studi dan penelitian. Kalau ada turis yang datang, itu sudah berlebih,” kata Surya Rosa.

Ia menjelaskan sejumlah syarat untuk mendapatkan pengakuan dari UGG, antara lain, pertama, situs tersebut asli karena perilaku alam jutaan tahun yang lalu. Itu bukan ciptaan manusia.

Kedua, ada pengelolaan konservasi yang terkait dengan pengembangan sosial ekonomi (geowisata atau agrowisata). “Masyarakat lokal perlu dilibatkan,” katanya.

Ketiga, ada program pembelajaran, penelitian, studi, dan kegiatan lain yang sungguh-sungguh untuk memperkaya situs.

Keempat, kerjasama yang tulus dengan semua pemangku kepentingan agar program perlindungan situs dan “pemasaran” ke dunia luar berjalan efektif.

Sebelumnya aktivis Geopark dan geologis asal Sumbar, Ade Edward juga mengkritik rencana proyek BKSDA di tembok Harau. Menurut Ade Edward, ide BKSDA itu sama saja dengan vandalisme.

“Analoginya adalah doodle candi Borobudur. Begitu juga dengan goa karst, stalagmit, stalaktit,” kata Ade.

Ade menambahkan, promosi proyek yang dilakukan BKSDA melalui media sosial tersebut terlihat dari tulisan yang mencakup kawasan inti geoheritage.

“Jelas negatif untuk standar Geopark Global Unesco,” katanya.

Juga menurut Ade, keberadaan landmark akan merusak nilai daya tarik wisata alam karena diselubungi lukisan berukuran besar.

“Kerusakannya bukan pada nilai fisik batu. The Outstanding Universal Value terletak tepat pada tebing berbatu vertikal yang menunjukkan pola struktur lapisan batuan,” jelas Ade.

Ia mengatakan bahwa nilai utama dunia Lembah Harau justru penampakan tebing berbatu vertikal yang menunjukkan struktur lapisan bebatuan.

Ia berharap rencana tersebut tidak dilaksanakan. Karena area pusat tidak boleh diganggu, cukup dibersihkan saja.

“Tebing Harau adalah kawasan geoheritage inti Lembah Harau. BKSDA tidak memahami Zona Biosfer Unesco,” katanya.

“Zona tengah tidak boleh diganggu. Hanya untuk dilihat dan diamati,” lanjutnya.

Sebelumnya, akun Instagram resmi BKSDA Sumbar mengabarkan bahwa Taman Wisata Alam Lembah Harau (TWA) akan dipercantik dengan pembangunan landmark.

“BKSDA Sumbar berencana membangun landmark di kawasan TWA Lembah Harau dengan posisi landmark menghadap ke arah kedatangan pengunjung (barat daya),” tulis unggahan tersebut.

Dijelaskan, dengan posisi landmark yang menempel di sisi tebing dengan tulisan plat besi masing-masing huruf setinggi empat meter.

“Tentunya akan menjadi daya tarik wisata baru yang menawan. Oh ya, tingginya sekitar 250 meter dari permukaan tanah… Wow bukan? “, kita baca di postingan.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa Lembah Harau merupakan ngarai yang berbatasan dengan kota Payakumbuh di Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat.

Lembah Harau diapit oleh dua bukit terjal dengan ketinggian mencapai 150 meter berupa batupasir terjal berwarna, dengan topografi berbukit dan bergelombang pada ketinggian 500 hingga 850 meter di atas permukaan laut.

Selain itu, tebing granit yang menjulang tinggi dengan bentuk yang unik mengelilingi lembah dengan ketinggian tebing antara 80 dan 300 meter.

Mengunjungi situs Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan Badan Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, total anggaran mencapai Rp 197 juta.

Anggaran tersebut dibagi menjadi 3 paket yang terdiri dari perencanaan (Rp 10 juta), pengawasan (Rp 5 juta) dan pengembangan (Rp 182 juta).

“Nah. Berapa nilainya, silakan cek sistem suplainya. Terbuka lebar. Itu Rp 182 juta,” kata Kepala BKSDA Sumbar Ardi Andono kepada BKSDA dan media Whatsapp.

Ia menambahkan, terkait perencanaan, BKSDA Sumbar telah menyusun rencana pembangunan jangka panjang, penataan blok dan DED.

“Semuanya hasil konsultasi publik,” katanya.

“Tidak mudah bagi kami untuk membatalkan keterlibatan kami dengan komunitas,” lanjutnya.

Ia juga menjelaskan, beberapa alasan BKSDA Sumbar berencana membangun landmark di salah satu tebing batu di kawasan Lembah Harau antara lain pemilihan posisi dilakukan pada ruang kosong (space) yang tidak memiliki vegetasi, sehingga itu tidak melibatkan penebangan.

Bukan penyeberangan hewan. Kegiatan pembangunan tidak berpotensi menimbulkan kebakaran hutan yang menjadi ancaman utama kawasan ini.

“Tebing granit bertekstur padat, mampu menopang beban landmark, sehingga tidak ada risiko longsor material dari tebing,” jelasnya.

Llau, tidak mengganggu keberadaan air terjun yang menjadi daya tarik kawasan tersebut.
Material yang digunakan adalah plat besi yang tidak memerlukan perawatan yang intensif.

Itu tidak dialiri listrik, jadi aman untuk satwa liar. Tidak ada pencahayaan yang akan mengganggu aktivitas hewan nokturnal.

Disebutkan pula bahwa pembangunan harus mendapat dukungan dari Ninik Mamak, tokoh masyarakat dan penjaga Nagari Tarantang, sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Persetujuan Pembangunan Landmark.

“Diharapkan keberadaan landmark dapat menambah daya tarik wisata yang berdampak positif bagi peningkatan perekonomian masyarakat setempat,” ujarnya.

Source: news.google.com

Related Articles

Back to top button