Berita Wisata

Menangkap perak dengan ikan yang dilarang

Parit Malintang (ANTARA) – Langit mendung di atas Padang Pariaman, Sumatera Barat pada awal Desember 2022 saat Azwir memandu tamunya menyusuri tebing Sungai Batang Lilinutan yang tidak terlalu curam.

Di bawah, air sungai yang jernih mengalir deras di antara bebatuan yang keluar dari dasar sungai yang dangkal. Suaranya meraung melantunkan suara alam yang masih belum tersentuh.

Sambil membawa sekantong perbekalan dan peralatan memancing, Azwir (52) dengan cekatan melompat ke bebatuan. Dia membuka jalan bagi tamunya yang mengikutinya. Dari waktu ke waktu, ia harus berhenti menunggu tamu agar tidak terlambat.

Azwir adalah salah satu pemandu mancing di Sungai Batang Lilinutan. Tugasnya mengantarkan tamu ke tempat pemancingan, mengangkut barang, menyimpan umpan mancing tamu jika tersangkut di bebatuan di dasar sungai.

Pagi itu, dia mengantar tamu itu ke Lubuk Lalang, salah satu spot mancing paling nyaman di Batangcrossutan. Tempat ini merupakan surga mancing di Sumatera Barat. Ikan garing (Masheer) seukuran paha orang dewasa berenang bebas di dasar.

Sensasi tarikan saat umpan dihantam ikan besar benar-benar membuat para pemancing “gila”. Adu panco menit demi menit hingga keringat bercucuran dari kening benar-benar membuat ketegangan hilang. Kepuasan saat mengangkat ikan berumpan tidak akan pernah terlupakan.

Pelopor ekowisata Air Terjun Nyarai yang juga salah satu peraih penghargaan United Astra Spirit for (SATU) Indonesia kategori lingkungan 2017, Ritno Kurniawan mengatakan, wisata pemancingan merupakan salah satu inovasi yang coba dihadirkan untuk membangkitkan perekonomian. masyarakat sekitar ekowisata Nyarai yang juga terpukul parah oleh COVID -19.

Setelah ledakan pada Maret 2014 dengan lebih dari 1.000 wisatawan berkunjung dalam seminggu, ekowisata Nyarai memudar pada tahun 2020 karena COVID-19. Kunjungan turun drastis, bahkan mencapai 0.

Setelah COVID-19, ekowisata Nyarai berjuang untuk bangkit kembali. Padahal ratusan guide dan masyarakat sekitar sudah mulai menggantungkan hidup dari objek wisata alam ini.

Ritno mengatakan, penurunan kunjungan selain faktor COVID-19 adalah akses jalan yang terputus. Ada jembatan yang roboh sehingga wisatawan yang ingin datang ke pos Nyarai harus memutar jauh. Hal ini membuat wisatawan berpikir dua kali sebelum datang.

Apalagi jenis ekowisata serupa mulai berkembang di berbagai tempat di Sumatera Barat, sehingga wisatawan memiliki banyak alternatif selain Nyarai. Akibatnya, jumlah kunjungan mulai menurun. Nyarai mulai goyah.

Menurut Ritno, satu-satunya jalan ke depan adalah membuat inovasi yang membedakannya dari ekowisata lainnya. Pilihan jatuh pada atraksi arung jeram dan memancing. Kedua jenis wisata tersebut masih dalam Koridor Minat Khusus.

Kebetulan di kecamatan Lubuk Alung ada dua sungai yang cocok untuk wisata ini. Rafting di Sungai Batang Anai yang luas dan banyak spot yang sulit, sedangkan trip mancing di Sungai Batang Lilinutan yang berhilir dari Nyarai.

Arung jeram langsung ledakan, bahkan bisa disebut sebagai “bunga” ekowisata, mengalahkan air terjun Nyarai. Agar ekowisata tetap dapat menghidupi pemandu dan masyarakat, dilakukan semacam subsidi silang dari arung jeram hingga wisata. diikuti di Nyara.

Minat wisatawan yang besar terhadap arung jeram menjadi salah satu titik wisatanya diikuti Jelajahi petualangan Pokdarwis LA dengan berinvestasi di perahu karet. Penyewaan perahu karet digunakan untuk menambah penghasilan guide dan orang-orang yang mengelola air terjun Nyarai.

Menara pemancingan juga mulai menunjukkan grafik yang bagus. Inovasi wisata mancing berawal dari potensi daerah yang menurut Ritno belum tergarap secara maksimal. Batang Lilinutan kaya akan beberapa jenis ikan, terutama jenis Masheer yang oleh masyarakat setempat disebut renyah.

Ikan ini merupakan ikan terlarang yang dikelola oleh Nagari Lilinutan dan Korong Lilinutan. Nagari mengelola sungai sepanjang lima kilometer, sedangkan korong (desa) mengelola sungai sepanjang 2,5 kilometer. Di aliran sungai sepanjang 7,5 kilometer ini terdapat beberapa kolam (bagian dalam sungai) yang dihuni oleh ikan Masheer.

Selama ini ikan yang dilarang ditangkap setiap tiga tahun sekali dan dijual ke Malaysia dengan harga rata-rata Rp 20 juta. Perak digunakan untuk pembangunan nagari dan korong. Namun setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata harganya sangat murah, karena harga jual ikan setelah diolah menjadi makanan di Malaysia mencapai Rp 500.000 per ekor.

Ritno berpikir, jika dijadikan tempat mencari ikan, pendapatan Nagari atau Korong bisa lebih besar. Padahal jika dikelola dengan baik, masyarakat sekitar juga bisa mendapatkan penghasilan langsung, sehingga perekonomian masyarakat juga bisa meningkat.

Maka ia mulai memikirkan konsep membangun tempat memancing di sana. Ia berdiskusi dan bertukar pikiran dengan beberapa tokoh yang memiliki pengetahuan tentang wisata mancing. Bahkan sampai menjalin komunikasi dengan para pemancing di berbagai daerah untuk mengetahui faktor-faktor yang menarik pemancing untuk datang dan menghabiskan banyak uang di tempat pemancingan.

Dari penelitian ini, ia mengetahui bahwa banyak penggemar memancing yang menyukai perasaan memancing Masheer. Malaysia yang semula merupakan surga mancing ikan Masheer, kini jumlahnya berkurang drastis. Sedangkan di Indonesia tempat mancing Masheer belum banyak. Di luar Sumatera, hanya di Kalimantan.

Potensi ini menyulut semangat Ritno. Dia mulai mengkomunikasikan konsepnya kepada pemangku kepentingan pemerintah di nagari dan korong. Konsepnya sederhana dan selalu berlandaskan pada kelestarian lingkungan.

Bagi Nagari dan Korong, pendapatan Rp 20 juta per tiga tahun yang semula berasal dari penjualan ikan terlarang ke Malaysia, tergantikan dengan sistem donor. Donor yang bersedia membayar Rp 20 juta setiap tiga tahun berhak menangkap ikan di sungai. Tetapi Anda masih harus membayar persediaan dan pemandu.

Sedangkan pemancing yang datang secara individu atau rombongan diwajibkan membayar biaya nagari atau korong serta jasa pemandu dan perbekalan. Paket mancing seharga Rp 500.000 per orang. Memang cukup mahal bagi sebagian orang, namun bagi para pemancing, harga tersebut sepadan dengan sensasi yang akan mereka dapatkan dari menangkap ikan Masheer berukuran paha dewasa yang memiliki daya tarik yang luar biasa.

Selain itu, dalam konsep yang ditawarkannya, Ritno tetap berpegang pada upaya pelestarian alam. Ikan yang menjadi ikan terlarang setelah ditangkap harus dilepas kembali ke jalur air. Jadi semua orang akan mendapat manfaat. Nagari dan korong masih mendapatkan penghasilan, bahkan lebih dari berjualan ke Malaysia.Penduduk setempat mendapatkan penghasilan dengan memberi makan kepada nelayan dan juga bisa menjadi pemandu mancing dengan bayaran yang cukup memadai.

Basar (71), salah satu tokoh masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan ekowisata mengatakan, saat ini hampir setiap minggu para pemancing datang ke Batang Lilinutan. Mereka datang tidak hanya dari Sumatera Barat, tetapi juga dari berbagai penjuru Indonesia, termasuk mancanegara seperti Malaysia dan Eropa.

Asesor Astra yang merupakan penggagas ekowisata Nyarai dan pemancingan di Batang Lilinutan. (ANTARA/Miko Elfisha)

Rata-rata penggila mancing tidak puas dengan satu hari saja. Mereka biasanya tinggal tiga atau empat hari di Padang Pariaman untuk menyalurkan hobi melepas penat dan stres dengan memancing.

Kini, penduduk Mediterania yang biasanya hidup dari berkebun, mendapat kesempatan baru untuk menjadi pemandu mancing. Ibu-ibu di sekitar sungai juga sudah dilatih untuk memberikan bekal dengan kadar tertentu. Jengkol, petai dan sambal hijau merupakan menu wajib yang menjadi salah satu keistimewaan wisata mancing di Batangcrossutan.

Ritno kini mulai tersenyum melihat dinamika ekonomi masyarakat di wilayahnya. Alumni Fakultas Pertanian UGM 2011 Yogyakarta ini membuktikan bahwa selama berjuang dengan semangat persatuan dan keikhlasan, sabar menghadapi berbagai rintangan, apalagi pola pikir masyarakat yang berubah, akan ada buah manis yang menanti.

Apalagi, pemerintah Kabupaten Padang Pariaman dan pemerintah provinsi Sumbar memberikan dukungan penuh terhadap pengembangan objek wisata unggulan ini.

Ayah dua anak ini kini bisa menyerahkan pengelolaan kepada masyarakat karena semua sistem beroperasi secara mandiri. Apalagi kini, sebagai asesor Desa Sejahtera Astra (DSA), ia semakin diminta berbagi ilmu dan pengalamannya dengan kelompok masyarakat lain di Indonesia agar bisa mengelola lingkungan dan masyarakat untuk ekonomi.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Memancing “cuan” dengan ikan yang dilarang

Source: news.google.com

Related Articles

Back to top button