Berita Wisata

Mengingat kewenangan mengelola Pulau Widi hingga 2050, PT LII dinilai melanggar MoU

TERNATE-Kepulauan Widi merupakan gugusan 83 pulau tak berpenghuni yang terletak di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara (Malut). Hal itu akhirnya menjadi perbincangan setelah Sotheby’s Concierge Auctions, situs lelang yang berbasis di New York, AS, dijadwalkan melelang Kepulauan Widi hari ini (Kamis, 8 Desember 2022).

Terkait hal tersebut, Ketua Badan Komunikasi Strategis Partai Demokrat Malut, Bapak Asghar Saleh, menilai PT Pimpinan Kepulauan Indonesia (LII) yang berwenang mengelola pulau-pulau eksotis itu telah melalaikan sejumlah kesepakatan dalam Nota Kesepahaman. Kesepahaman dengan Pemerintah Provinsi Maluku Utara.

Jadi, kata Asghar Saleh, sudah saatnya pemerintah bertindak dan tidak lagi menampilkan narasi yang berbeda. Ia merasa MoU tentang pengelolaan Widi sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini.

“Sudah saatnya para pembuat kebijakan dan ekonom serta mereka yang menangisi kematian NKRI untuk serius mempelajarinya dengan basis data yang jelas,” perintah Asghar Saleh, Kamis (8/12/2022).

Menurut Asghar Saleh, sejak 2015, Widi menjadi “kepemilikan” LII setelah Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba dan adiknya Muhammad Kasuba-Bupati Halsel mengadakan nota kesepahaman untuk menyerahkan pengelolaan Widi kepada LII. Jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun.

Kewajiban PT LII sebagai pihak ketiga diatur dalam Pasal 3 Nota Kesepahaman LII dengan Pemerintah Provinsi Maluku Utara, antara lain pengembangan kawasan wisata dengan menggunakan tenaga kerja lokal, izin penjualan minuman beralkohol kepada wisatawan, membayar pajak, bebas biaya mulai dari obat-obatan terlarang, tidak mencemari lingkungan, membiarkan nelayan lokal menangkap ikan, dan masih banyak kewajiban lainnya.

Dalam MoU, lanjutnya, ada klausul bahwa pembangunan dimulai paling lambat 3 tahun setelah MoU. Pada tahun 2017, LII mengajukan perpanjangan Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Sarana Wisata Alam (IUPJLWA-PSWA).

“Gubernur kemudian memberikan perpanjangan pada tahun 2018. Dengan syarat 5% dari keuntungan manajemen Widi dialokasikan ke Maluku Utara dan Halsel,” ujarnya seraya menambahkan, keuntungan 5% yang dijanjikan PT LII untuk daerah perlu digugat. Malut sendiri masih trauma dengan narasi investasi.

Masalah lanjut Asghar Saleh, 7 tahun setelah MoU, belum ada satupun fasilitas wisata yang dibangun. Sehingga keadaan Widi tidak berubah dan terkadang menjadi tempat penjemuran ikan hasil tangkapan nelayan.

“Saya menduga LII tidak punya modal. Saya tidak tahu apakah Jakarta dan anggota DPRD mengetahui MoU ini atau tidak. Kalau diinvestigasi, banyak kewajiban LII yang diabaikan. Di MoU, nelayan lokal bebas tapi di laporan LKPM , LII menulis bahwa salah satu hambatan investasi adalah ancaman terhadap keselamatan nelayan ilegal,” jelasnya.

Menurutnya, manajemen Widi berada di bawah kendali LII sejak 2015 hingga 2050, jika Jakarta termasuk para menteri mau berkomentar. Namun melihat ragam kontroversi Widi, Asghar Saleh, saya berkesimpulan bahwa banyak yang belum paham bahkan belum pernah datang ke Widi.

Selain itu, kata Asghar Saleh, dalam Pasal 5 butir 5, terdapat klausul yang memungkinkan LII mendatangkan rekanan lain dalam kepengurusan Widi. Pasal penting lainnya adalah pergantian Gubernur dan Bupati tidak membatalkan Nota Kesepahaman ini (Pasal 11).

Asghar menegaskan kembali bahwa 8 Desember adalah batas waktu dimulainya lelang Widi selama seminggu di New York. Lantas apakah Widi “dijual” oleh LII? Apapun berita dari New York, Asghar meminta pemerintah untuk bertindak, bukan dalam narasi yang berbeda setiap hari.

“Kalau pemerintah mengaku tidak mengetahui kegiatan LII, itu hanya akan menunjukkan kebobrokan kita dalam menjalankan negara. Menurut saya, Widi bukan soal mengklaim nasionalisme dalam bentuk pulau, tapi bagaimana mengembalikan nota kesepahaman ini. sepaham dan batalkan jika dianggap penting. Posisi LII terkait lelang sangat kuat berkat MoU tersebut. Jika terjadi pembatalan, Negara memiliki dana untuk membangun Widi? Itu tujuannya,” ujarnya. .

Pulau-pulau yang kerap menjadi persinggahan nelayan setempat itu ‘dilelang’ oleh pemegang izin pengelolaan, PT LII, dengan kedok menarik investor pembangunan. “Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara tahun ini 27% karena ekspor nikel dan investasi, tapi rakyat tidak dapat apa-apa. Negara kita tidak berubah,” katanya. (merah)

Source: news.google.com

Related Articles

Back to top button