Berita Wisata

Merencanakan takdir Anda – Radar Pekalongan Online

Dari: Dahlan Iskan

UANG besar sudah ditanam: Rp 3 triliun. Di Kijing. Di tengah antara Pontianak-Singkawang.

Pelabuhan baru sudah siap. Di pantai barat Kalimantan Barat. Menghadap Laut China Selatan. Terdekat: Singapura, Bangkok, Ho Chi Minh, bahkan Hong Kong dan sekitarnya.

Lantas kapan port tersebut mulai digunakan? Sehingga investasi besar itu segera menghasilkan pertumbuhan ekonomi?

“Kami mengusulkan agar jalan dari Pontianak ke Kijing diperlebar,” kata Arif Suhartono, Senior Director Pelindo Holding.

Sekarang jalannya memang sempit. Terutama untuk transportasi kontainer.

Jika demikian, bisa dikatakan investasi di Pelabuhan Kijing akan memaksa Kalbar memiliki jalan yang lebar. Tanpa pelabuhan, proyek pelebaran jalan bisa dianggap kurang penting.

Jadi sekarang ada investasi Rp 3 triliun yang perlu ditabung. Tidak bisa disia-siakan. Mau tidak mau, jalan harus diperlebar. Alhamdulillah nanti bisa datang ke Singkawang.

Membangun pelabuhan di Kijing memang keberanian yang luar biasa. Tentu. Presiden Jokowi sangat berani di bidang ini. Namun, investasi Rp 3 triliun itu bisa dikritik sebagai pemborosan. Satu-satunya cara: untuk segera menggunakannya.

Tentu saja, pengoperasian Pelabuhan Kijing tidak akan berhasil jika pelabuhan lama masih digunakan. Yang ada di kota Pontianak. Yang di tepi sungai. Kedalamannya hanya 4-6 meter. Pengerukan yang mahal harus dilakukan setiap dua tahun sekali.

Biaya pengerukan Kapuas bisa mencapai Rp 60 miliar. Kemudian dangkal lagi. Mengeruk lagi. Rp 60 miliar lagi. Dangkal lagi. Terus menerus.

Ini adalah masalah pelabuhan sungai. Bahkan Banjarmasin (sungai Barito) dan Samarinda (sungai Mahakam).

Barulah pemerintahan Jokowi berani masuk Kijing. Berangkat dari pelabuhan sungai. Studi Kijing sangat panjang. Namun baru sekarang disadari.

Jika Kijing akan dioperasikan sekarang, pelabuhan sungai harus ditutup sekarang. Itu juga bisa dikritik sebagai pemborosan. Pelabuhan lama masih layak. Untuk ukuran Pontianak.

Benar bahwa pelabuhan lama masih layak. Namun sudah tidak bisa lagi dijadikan mesin penggerak perekonomian Kalbar. Fungsinya terbatas untuk melayani pertumbuhan alami. Tidak dapat menyebabkan pertumbuhan baru yang lebih cepat.

Jadi ayam dan telurnya sampai di sana. Pelabuhan baru tidak bisa dimanfaatkan jika jalan Pontianak belum dilebarkan.

Port lama tidak dapat ditutup jika port baru belum digunakan.

Keduanya bergantung pada satu faktor: pelebaran jalan.

Panjang jalan yang akan diperlebar adalah 90 km. Dari Pontianak ke Kijing. Melewati Jungkat, Sungai Pinyuh dan Mempawah.

Pantai Kijing dipilih karena ada pulau kecil di kejauhan: sekitar 4 km dari pantai. Pulau tersebut dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang. Yakni penahan gelombang laut lepas, sehingga gelombang besar tidak menerjang pelabuhan baru.

Pelindo telah mengakuisisi lahan seluas 200 hektare di Pantai Kijing yang sepi. Dermaga tidak bisa dibangun di pantai. Pantainya landai. Maka harus dibangun jembatan di tengah laut.

Panjang jembatan sekitar 3,5 km. Di ujung jembatan itulah dermaga pelabuhan Kijing dibangun. Di laut dalam. Sedangkan dermaganya memiliki kedalaman 14 meter. Tidak ada pendangkalan. Kapal besar bisa berlabuh di Kijing.

Bandingkan dengan pelabuhan sungai. Yang dalamnya hanya 4 sampai 6 meter. Hanya perahu kecil yang bisa datang ke Pontianak. Karena itu, harga transportasi lebih mahal: per kilogram.

Investasi Rp 3 triliun itu untuk dihemat. Tentu tidak terlihat jika hanya untuk mengakomodir kegiatan perpindahan dari pelabuhan lama. Seperti supermarket yang penuh dengan produk acak.

Itu harus dibuat: apa lagi yang bisa diangkut dengan kapal besar. Sedangkan pelabuhan Kijing tergolong ekonomis.

Hanya ada dua pilihan di Kalbar: sawit dan bauksit.

Kalau soal kelapa sawit, saya tidak perlu terlalu memikirkannya. Kalau kelapa sawit Kalbar sangat tinggi, otomatis butuh pelabuhan.

Dan bauksit?

Hasil tambang bauksit dapat diolah menjadi alumina. Alumina dapat diubah menjadi aluminium.

Kalimantan Barat merupakan penghasil bauksit terbesar di Indonesia. Seperti nikel di SE/Sulawesi Tengah dan Halmahera. Presiden Jokowi tentu berpikiran seperti itu. Tepat kapan harus memulai. Apalagi jika cukup senioritas. Kecuali, seperti yang diusulkan tokoh DPR Effendi Simbolon dari PDI-Perjuangan, mandat diperpanjang 3 tahun lagi.

Idealnya, hilirisasi bauksit dilakukan di Kalimantan Barat. Serta keberhasilan hilirisasi nikel di Morowali.

Sebenarnya agak aneh kita punya pabrik aluminium di Kuala Tanjung, Sumatera Utara. Provinsi ini tidak memiliki bauksit sama sekali. Bahan baku Sumut didatangkan dari Australia.

Sedangkan Kalbar memiliki bahan baku yang melimpah. Itu hanya tidak memiliki industri. Berbeda dengan Sumut yang industrinya tanpa bahan baku.

Pasalnya, Kuala Tanjung memiliki sumber listrik yang murah: Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Asahan. Dengan menggunakan air luapan dari Danau Toba. Jepang membangun PAAT. Apalagi agar Jepang bisa membangun pabrik aluminium di Kuala Tanjung. Bahan baku bisa diimpor.

Masalahnya, Kalimantan Barat tidak memiliki sumber listrik yang murah. Berarti jalan buntu.

Kecuali jika pemerintah berani memutuskan ini: membangun pembangkit listrik tenaga nuklir di pulau kecil di tengah laut ini.

Luas pulau ini lebih dari 200 hektar. Jauh dari bumi. Tentu. Apalagi dengan teknologi nuklir saat ini.

Jika semua itu bisa terwujud, maka kita harus ingat: penggeraknya adalah investasi di Pelabuhan Kijing senilai Rp 3 triliun.

Karena itu, bisa jadi apa yang dianggap sampah saat ini ternyata menjadi lokomotif besar di masa depan.

Karena pelabuhan, jalan diperlebar. Industri sawit dibangun. Bauksit hilir terwujud. Listrik nuklir telah menjadi kenyataan.

Dengan demikian, Kalbar tidak hanya berstatus provinsi naas. Dia bisa merencanakan takdir. Jika Anda punya waktu. (Dahlan Iskan)

Source: news.google.com

Related Articles

Back to top button