Berita Wisata

Penanaman mangrove untuk mendukung ketahanan iklim di TWA Kapuk Angke

  • Sebagai ekosistem di pesisir laut dan darat, hutan mangrove memiliki banyak fungsi ekologis seperti penahan abrasi pantai dan ketahanan terhadap gelombang tsunami, serta sebagai tempat berbagai biota hasil laut seperti udang, ikan dan kepiting.
  • Sebagian besar hutan mangrove TWA Angke Kapuk Jakarta Utara berada dalam kondisi kerapatan tumbuhan jarang, yang berarti berada dalam kategori rusak seluas 272,79 hektar. Kondisi ini disebabkan kawasan Angke Kapuk terus mengalami tekanan akibat aktivitas kawasan terbangun di sekitarnya.
  • Tantangan lainnya adalah fungsi hutan mangrove sebagai penyaring pencemaran air laut juga tercemar berbagai limbah di laut Jakarta, termasuk sampah plastik.
  • Untuk mendukung kelestarian kawasan dan mendukung tujuan nol emisi karbon, TWA Angke Kapuk dan mitra melakukan kegiatan penanaman mangrove

Meski air laut terlihat keruh, tak lantas menyurutkan semangat belasan pengunjung Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, untuk menanam mangrove.

Sambil membawa jenis bibit mangrove Rhizopora mucronata, mereka berjalan bergiliran di jalan setapak yang terbuat dari bambu. Di ujung jalan, mereka kemudian menuruni tangga, menyelam di air laut setinggi orang dewasa.

Berjalan perlahan, masing-masing kemudian berjalan menuju tongkat bambu yang telah disiapkan petugas sebagai penanda.

Satu per satu, bibit yang mereka bawa kemudian ditempelkan pada batang tanaman yang termasuk dalam famili rumput-rumputan. Wajah mereka terlihat ceria di pagi yang cerah, termasuk Lifandra, 29 tahun.

Perempuan bergigi besi itu mengaku menanam pohon bakau merupakan pengalaman pertamanya. Awalnya dia takut karena yang dia tahu lumpur itu artinya kepiting., kerang dan tiram. Namun, begitu memasuki air berlumpur, kesan tersendiri muncul.

“Kesannya seru dan menyenangkan. Dapat ilmu baru. Juga bisa dilakukan bersama-sama. Mudah-mudahan bisa menjadi kegiatan rutin setiap tahunnya,” kata Lifandra, Selasa (11/1/2022).

Baca: Hutan Lindung Angke Kapuk, Tempat Asik untuk Birdwatching di Jakarta

Sambil membawa bibit mangrove jenis Rhizopora mucronata, pengunjung dari TWA Kapuk Angke Jakarta yang akan melakukan penanaman bergiliran berjalan di sepanjang jalur bambu. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Palufi Wirina, 35, juga mengungkapkan hal senada. Diakuinya selain menyenangkan, menanam mangrove juga memiliki manfaat yang baik bagi lingkungan. Berkat penanaman ini, ia juga menemukan bahwa pohon bakau termasuk tanaman yang banyak menyerap CO2.

“Lima tahun terakhir ini sangat panas. Makanya saya juga ingin menanam mangrove. Semoga langkah kecil ini dapat memberikan dampak bagi kebaikan lingkungan,” jelasnya.

Dukung komunitas lokal

Untuk mendukung inisiatif mencapai emisi karbon nol bersih pada tahun 2050, bekerja sama dengan agen mitra, Vanantara, dan direktur Taman Wisata Alam Angke Kapuk, Cathay Pacific menyelenggarakan kegiatan penanaman bakau yang mengkampanyekan Join For Tress dan 1 Tiket 1 Pohon.

Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menciptakan dan memimpin gerakan menuju penerbangan yang berkelanjutan. Dominic Perret, manajer umum regional untuk Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya, Cathay Pacific Airways mengatakan program 1 Tiket 1 Pohon diluncurkan tahun lalu di Thailand.

Sementara di Indonesia, inisiatif serupa Bergabunglah untuk pepohonan juga diluncurkan pada awal 2022. Juga di Filipina, di mana ia berjanji untuk menanam pohon di setiap anggota baru yang mendaftar.

Dengan menggabungkan kedua upaya tersebut, lanjut Dominic, maskapai ini telah menanam lebih dari 1.700 pohon bakau di Thailand, Indonesia, dan segera Filipina. Dibandingkan tahun lalu, ia berharap tahun-tahun berikutnya bisa lebih banyak menanam pohon.

baca juga: Bagaimana nasib kawasan mangrove Teluk Balikpapan bila ada IKN nusantara?

Pengunjung TWA Angke Kapuk, Jakarta Utara, saat melakukan penanaman mangrove. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Alasan lain menanam mangrove, kata Dominic, karena banyak masyarakat di Asia Tenggara yang bergantung pada keberadaan hutan mangrove. Misalnya untuk mencari makan, perlindungan dan penghasilan.

Karena keberadaan hutan mangrove dapat mengundang banyak biota laut, seperti udang, ikan dan kepiting. Selain itu, juga tentang mendukung program restorasi ekologi dan mendukung ketahanan iklim.

“Saya yakin akan sangat membantu. Ke depan, kami juga ingin melibatkan masyarakat lokal dalam penanaman mangrove,” kata Dominic.

Namun, sebagai ekosistem yang keberadaannya berada di zona peralihan antara laut dan darat, mangrove merupakan ekosistem pertama yang terkena dampak dari berbagai dampak yang akan terjadi akibat perubahan iklim global.

Tantangan Mangrove di Jakarta

Ratih Madu Retno, pengelola operasional Taman Wisata Alam Mangrove Angke Kapuk, mengatakan meski mangrove berperan dalam menyaring pencemaran air. Namun keberadaan limbah yang sering mencemari laut Jakarta menjadi tantangan untuk melakukan rehabilitasi hutan mangrove.

Meski, seingatnya, pada tahun 2000-an, kondisi air laut di kawasan Taman Wisata Alam Mangrove Angke Kapuk masih jernih dan bersih. “Saya tidak tahu persis dari mana sampah itu berasal. Yang jelas sangat berdampak,” jelasnya.

Selain limbah cair, lanjut Ratih, sampah plastik yang mencemari lautan juga menjadi kendala pengelolaan Taman Wisata Alam yang memiliki luas 99,82 hektare itu. Akhirnya, mangrove tercemar.

Baca Juga: Kecintaan Fadly pada Alam ‘Padi Reborn’: Dari Mangrove, Bambu Hingga Urban Agriculture

Dengan menanam mangrove, Anda bisa mengundang banyak biota laut, seperti udang, ikan, dan kepiting. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Ditemui pada Selasa, 8 November 2022, aktivis Walhi Jakarta Muhammad Aminullah mengatakan, sampah yang dihasilkan mangrove merupakan sampah yang dikirim dari sungai dan daerah lainnya.

Akibatnya, pertumbuhan tanaman mangrove baru terhambat. Faktor lain yang menjadi penghambat rehabilitasi mangrove di Jakarta adalah alih fungsi lahan. Banyak hutan bakau yang akhirnya dibuang ke pemukiman dan industri.

Merujuk pada hasil penelitian Achmad Sofian, dkk, tentang Kajian keadaan ekosistem mangrove Angke Kapuk di Teluk Jakarta dan implikasinya terhadap jasa ekosistem Luas ekosistem Mangorve Angke Kapuk adalah 291,17 hektar.

Dari kawasan ini mereka merinci hutan bakau dengan kerapatan jarang kurang lebih 272,79 hektar. Sedangkan kepadatan sedang 16,83 hektar dan masih padat 1,54 hektar. Dalam jurnal terbitan tahun 2019 disebutkan bahwa keadaan ekosistem mangrove yang tampaknya masih terjaga terutama berada di Suaka Margasatwa Muara Angke dan Hutan Lindung Angke Kapuk.

Meski begitu, karena keberadaannya di antara pemukiman penduduk dan infrastruktur lainnya. Dengan demikian, berdasarkan tingkat kekritisan, kondisi ekosistem mangrove Angke Kapuk tergolong rusak, seluas 272,79 hektar. Selama ini, 18,38 hektar tidak rusak.

Kawasan Angke Kapuk berpotensi terus mengalami tekanan, terutama akibat aktivitas di sekitar kawasan terbangun.

Bibit mangrove di TWA Angke Kapuk, Jakarta Utara. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang terpengaruh oleh perubahan iklim global. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Source: news.google.com

Related Articles

Back to top button