Berita Wisata

Taman nasional khas di Indonesia

Taman Nasional Komodo
Pramono DS

Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan merupakan penulis buku “Tentang Hutan dan Kehutanan: Masalah dan Solusi”)

SSebagai rimbawan yang telah bekerja di Kementerian Kehutanan/Lingkungan dan Kehutanan selama lebih dari tiga dekade, baik di tingkat pusat maupun daerah, saya telah melakukan perjalanan melalui beberapa kawasan konservasi alam (KPA), yaitu Taman Nasional (TN) di Indonesia. . Taman nasional yang pernah dikunjungi antara lain TN. Kerinci Sebelat (Jambi), TN. Ujung Kulon (Banten), TN. P.Seribu (DKI), TN. Gunung. Gede Pangrango (Jawa Barat), TN. Gunung. Merapi (Jawa Tengah/DIY), TN. Gunung. Bromo-Tengger-Semeru (Jawa Timur), TN. Gunung. Rinjani (NTB), TN. Danau Sentarum (Kalimantan Barat), TN. Tanjung Puting dan TN. Sebangau (Kalimantan Tengah), TN. Bunaken dan TN. Bogani Nani Wartabone (Sulawesi Utara), TN. Wakatobi dan TN. Rawa Aopa Watumohai (Sulawesi Tenggara).

Kesan pertama yang dapat diambil dari keberadaan beberapa taman nasional ini adalah keberadaannya yang bervariasi dari daerah pegunungan, pegunungan, dataran rendah, perairan pedalaman, rawa gambut hingga perairan laut dengan luas yang cukup luas (100.000 ha) – hingga wilayah yang sangat luas (100.000 ha). .

Di antara kawasan konservasi yang ada, baik cagar alam (cagar alam dan suaka margasatwa) maupun cagar alam (taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam), hanya taman nasional yang memiliki daya tarik dan daya pikat benteng untuk dikunjungi wisatawan yang senang. (ekowisata).

Begini, dalam keadaan pandemi covid 19 yang tidak tahu kapan akan berakhir, kehebohan orang-orang yang ingin berkunjung ke TN. Gunung. Bromo-Tengger-Semeru tetap tinggi, meskipun pengunjung telah dibatasi oleh sistem kuota dan harus mendaftar terlebih dahulu melalui online/internet. Belum lagi taman nasional yang telah ditetapkan pemerintah sebagai destinasi wisata super prioritas dengan kelas premium seperti TN. Komodo di NTT, Arus Wisatawan di TN. Komodo semakin banyak datang ke Labuan Bajo (kota terdekat dengan Taman Nasional Komodo), terutama wisatawan asing. Destinasi wisata kelas premium merupakan destinasi wisata yang mahal dan berbiaya tinggi karena berbanding lurus dengan ketersediaan sarana dan prasarana akomodasi yang juga berstandar internasional.

Secara topografi, kawasan taman nasional dapat dikategorikan menjadi 4 jenis, yaitu a) taman nasional topografi gunung seperti TN. Kerinci Sebelat (Jambi), TN. Ujung Kulon (Banten), TN. P.Seribu (DKI), TN. Gunung. Gede Pangrango (Jawa Barat), TN. Gunung. Merapi (Jawa Tengah/DIY), TN. Gunung. Bromo-Tengger-Semeru (Jawa Timur), TN. Gunung. Rinjani (NTB); b.taman nasional topografi dataran rendah seperti TN. Ujung Kulon (Banten), TN. Rawa Aopa Watumohai (Sulawesi Tenggara), TN. Bogani Nani Wartabone (Sulawesi Utara); c.taman nasional topografi perairan pedalaman (danau dan rawa gambut) seperti TN. Danau Sentarum (Kalimantan Barat), TN. Tanjung Puting dan TN. Sebangau (Kalimantan Tengah) dan; d.taman nasional topografi laut seperti TN. Wakatobi dan TN. Bunaken.

Homogenisasi pengaturan regional

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) no. 28/2011 tentang Pengelolaan Kawasan Cagar Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) sebagai turunan undang-undang (UU) no. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, disebutkan bahwa kriteria suatu kawasan dapat ditetapkan dan ditetapkan sebagai taman nasional meliputi (a) memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang unik dan unik yang masih utuh dan alami serta fenomena alam yang khas; b) memiliki satu atau lebih ekosistem yang utuh; c) memiliki luasan yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi alam; dan d) merupakan kawasan yang dapat dibagi menjadi Kawasan Inti, Kawasan Pemanfaatan, Kawasan Rimba dan/atau Kawasan Lainnya sesuai kebutuhan (Pasal 8).

Kriteria penetapan zonasi didasarkan pada derajat kepekaan ekologi, urutan spektrum kepekaan ekologi dari intervensi yang paling peka sampai yang paling tidak peka terhadap pemanfaatan, berturut-turut adalah zona: inti, lindung, rimba, pemanfaatan, koleksi , dan lain-lain. Selain itu juga mempertimbangkan faktor-faktor berikut: keterwakilan, orisinalitas atau kealamian, keunikan, kelangkaan, tingkat kepunahan, integritas ekosistem, integritas sumber daya/kawasan (integrity), luas (area/ukuran), keindahan alam (natural beauty), kenyamanan (amenity), kemudahan realisasi (aksesibilitas), nilai sejarah/arkeologi/religius (historis/arkeologi/nilai religi) dan ancaman manusia (ancaman campur tangan manusia), sehingga memerlukan perlindungan dan pelestarian yang ketat terhadap populasi flora dan fauna terpenting. dan habitat. Kriteria penetapan zonasi ini ditetapkan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen) no. P.76/2015 tentang Kriteria Kawasan Pengelolaan Taman Nasional dan Blok Pengelolaan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.

Sayangnya, perencanaan kawasan taman nasional dalam bentuk zonasi terkesan homogen (seragam) dan tidak memperhatikan aspek topografi, khususnya antara kawasan taman nasional yang berupa daratan (pegunungan dan dataran rendah) dan perairan (danau/danau). rawa gambut dan lautan). Untuk menyusun kawasan taman nasional terestrial, mungkin tidak terlalu sulit dengan kriteria tersebut di atas. Bagaimana penetapan zonasi pada kawasan taman nasional berupa perairan? Bagaimana menentukan zona tengah dan zona laut, dll. Seharusnya dalam penataan kawasan taman nasional dalam menentukan zonasi harus berbeda antara wilayah daratan dan perairan. Di kawasan laut taman nasional, kawasan inti sebenarnya adalah kawasan laut itu sendiri.

Orang dapat memahami mengapa kawasan taman nasional dengan topografi laut umumnya sangat luas. Sebut saja TN. Wakatobi (Sulawesi Tenggara) dengan luas 13,9 ribu km2, TN. Taka Bonerate (Sulawesi Selatan) 5.307.000 km2, TN. Teluk Cendrawasih (Papua Barat) 14.535.000 km2. TN saja. Bunaken di Sulawesi Utara memiliki luas terkecil, itupun 890 km2 atau 89.000 ha. Hampir terlihat dari Taman Nasional Laut tersebut, lebih dari 90 persen wilayahnya adalah wilayah laut, sedangkan wilayah inti kurang dari 10 persen. Penataan kawasan taman nasional dengan sistem zonasi luas tersebut di atas, hanya ada di peta. Bagaimana praktek di lapangan, apakah ada batas yang nyata, baik batas luar maupun batas antar zonasi?.

Zonasi dan batas pemantauan

Salah satu kelemahan mendasar dalam pengelolaan taman nasional adalah mudah dibobol dan dijarah oleh manusia yang tidak bertanggung jawab. Misalnya, Taman Nasional Kerinci Sebelat di Sumatera, Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan, dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone di Sulawesi. Kasus yang sudah berlangsung bertahun-tahun biasanya berupa: koneksi ilegal, penambangan ilegal, perambahan hutan untuk kebun, perburuan satwa liar, pemukiman, dll. Meski pihak TN telah berupaya menyelesaikan kasus tersebut, namun penanganannya masih bersifat parsial dan tidak permanen sehingga beberapa tahun kemudian kasus seperti ini terulang kembali. Ada kecenderungan kerusakan lingkungan di kawasan TN semakin besar setiap tahunnya dengan skala yang lebih besar. Ibarat seorang petinju yang bertarung di atas ring, agar tidak terjatuh dan terkena pukulan lawan, petinju ini bertahan dan mengandalkan tali hingga ronde terakhir. Demikian pula nasib TN hanya bertahan sehingga kerusakan kawasan dapat diminimalisir tanpa ada upaya untuk mencegah atau menghalanginya.

Harus kita akui, ada beberapa kelemahan dalam pengelolaan PN ini. Pertama, ukuran PN yang dijaga dan dipantau tidak sebanding dengan jumlah agen NP. Rata-rata luas permukaan TN lebih besar dari 100.000 ha, bahkan ada TN yang memiliki luas lebih dari 1.000.000 ha. Sedangkan penjaga hutan hanya berjumlah 100-125 orang per TN. Idealnya, satu ranger akan efektif menjaga dan memantau 200-250 ha. Oleh karena itu, taman nasional dengan luas 100.000 ha membutuhkan minimal 500 penjaga. Untuk mengawasi dan memelihara TN, Danau Sentarum yang luasnya 1.320 km2 yang topografinya merupakan perairan pedalaman, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan pengadaan beberapa unit pesawat layang gantung bermotor bagi para petugas TN. Danau Sentarum berpatroli melalui udara untuk melindungi kawasan dari penebangan liar. Kedua, batas antara kawasan pusat, kawasan pemanfaatan dan kawasan lain di lapangan belum jelas dan nyata. Selain itu, kawasan laut merupakan taman nasional perairan laut, batas-batas kawasan harus tetap dalam angan-angan karena luasnya perairan. Membuat batas antar wilayah membutuhkan banyak waktu dan menghabiskan banyak uang.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebagai otoritas yang bertanggung jawab atas NT di Indonesia, harus mulai memikirkan cara lain yang lebih tepat untuk mengamankan NT. Keterlibatan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta masyarakat setempat dalam memelihara, mengamankan dan mengawasi TN harus dilakukan untuk menghilangkan kesan bahwa Balai Besar/Balai TN bekerja sendiri. Sebagai imbalannya, masyarakat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengelola kawasan pemanfaatan untuk kegiatan pariwisata dan rekreasi, sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Pasal 34 ayat (3). TN sebagai bagian dari kawasan konservasi merupakan aset nasional yang harus dilestarikan selamanya. *** AI

Source: agroindonesia.co.id

Related Articles

Back to top button