Berita Wisata

Umum

Detail Ditulis oleh IRA Diterbitkan pada 09 November 2022 Dilihat: 127

Serpong – Dorongan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berlangsung setiap tahun, menurut regulasi, memang merupakan forum pengambilan kebijakan di bidang penyiaran. Selain itu, tentunya juga menjadi sarana bagi seluruh anggota KPI untuk berbagi pengalaman dalam implementasi kebijakan yang praktiknya seringkali tidak sama di setiap daerah. Berbagai isu yang dibahas dalam Rakornas KPI 2022 antara lain migrasi sistem penyiaran dari analog ke digital, implementasi Berhenti analog (ASO), serta penguatan kelembagaan KPI di daerah. Pada Rakornas KPI 2022 yang digelar usai pembukaan Rakornas, Maman Suherman selaku pengamat media tampil sebagai pembawa acara.

Isu penting lainnya yang mengemuka di dunia penyiaran adalah tuntutan keadilan regulasi, baik dalam regulasi bisnis maupun regulasi informasi antara media baru dan lembaga penyiaran. Saat dimintai tanggapan atas pernyataan Kang Maman, Gilang Iskandar dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) mengatakan, sebaiknya DPR saja merevisi undang-undang tersebut. Panitia kerja (Panja) kini sudah pindah. “Bagi kami, ini perlakuan tidak adilkata Guilan. Untuk satu hal, hoax, ujaran kebencian, seks bebas dan LGBT tidak ada di TV di luar rumah, jika ada, sangat sedikit. Di sisi lain, ada banyak konten seperti ini di media sosial dan Di atas (OTT).

Sedangkan dengan aturan yang ketat, lembaga penyiaran harus berhadapan dengan mereka yang dulunya independen, sangat mandiri. Termasuk pertumbuhan pasar yang sangat kuat, sejak 2014 sudah mencapai 15,1%. “Dalam membela karakter bangsa dan nasionalisme kita, lembaga penyiaran harus dibantu untuk mempertahankan eksistensinya. Di sisi lain, barang transnasional perlu diatur bagaimana melakukannya,” kata Gilang. Hal ini dapat dilakukan dengan berani karena Inggris dan Australia menetapkan peraturan. “Ini hanya soal keberanian politik, suka atau tidak suka. Dan kita akan berhadapan dengan negara yang hebat,” tambahnya. Tapi demi keamanan negara, kita harus mendorong DPR untuk memasukkan aturan tersebut. Menurut Gilang, jika ternyata DPR sudah menetapkan KPI yang mengawal konten media baru, maka KPI harus dilengkapi alat monitoring yang lebih canggih dan anggaran yang lebih besar.

Senada dengan Gilang, perwakilan Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI), Mohammad Riyanto, juga menilai perlu adanya regulasi yang lebih spesifik untuk menjangkau platform media digital. “Jadi ada pemikiran, arah regulasi juga bisa menciptakan keseimbangan pasar di masyarakat,” ujarnya.

Selain televisi, kebutuhan akan aturan yang setara juga diserukan oleh lembaga penyiaran. Ditanya Kang Maman soal prediksi radio mendekati ‘matahari terbenam’, Sekjen Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Radio Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), M Rafiq menjelaskan terobosan yang dilakukan PRSSNI di era disrupsi digital. . . Di Indonesia yang berpenduduk 270 juta jiwa, ternyata ada 370 juta smartphone yang online. “Artinya ada 100 juta orang yang memiliki lebih dari satu ponsel,” katanya. Ada 205 juta pengguna internet aktif di Indonesia, 93% mengakses internet menggunakan gadget. Dari 205 juta orang, lebih dari tiga jam sehari dihabiskan di jejaring sosial. “Alhamdulillah masih ada waktu 2 jam 50 menit untuk menonton TV, baik terestrial maupun streaming. Sayangnya, hanya 35 menit untuk mendengarkan radio,” kata Rafiq.

Dengan kondisi tersebut, PRSSNI berupaya untuk tetap relevan dan hadir di 370 juta smartphone yang terhubung delapan jam sehari. Saat ini PRSSNI bekerja sama dengan 3 aplikasi, termasuk Langit Musik, sehingga 600 radio anggota PRSSNI dapat mendengarkan tayangan live streaming mereka di ketiga aplikasi tersebut. “Dan kami juga menyiapkan audio on demand, podcast, features, radio play, playlist dan lain-lain,” jelasnya.

Tentu dengan kondisi ini, sangat diharapkan pemerintah membuat aturan tentang konvergensi media. “Kenapa? Karena saya takut ada anggota PRSSNI yang jelek,” kata Rafiq. Kita tahu betul bahwa iklan produk tembakau dan turunannya, iklan alkohol dan kontrasepsi diatur sangat ketat untuk siaran terestrial. , saya takut akan ada celah. Pasti ada stasiun radio yang siaran iklan rokok di waktu yang salah, lagipula streamingnya bagus, tidak diatur. Kalau radionya ditegur, pasti orang radio akan bilang kenapa nggak kasih tahu spotify?” ujarnya lagi.

Rafiq juga mengakui bahwa saat ini dengan streaming konvergen, dimungkinkan untuk melakukan streaming lagu-lagu yang sebenarnya ada di redlist KPI, yang direkomendasikan untuk tidak dialirkan kecuali setelah diedit. Namun jika disiarkan tentu tidak melanggar Kode Etik Penyiaran dan standar program siaran (P3 dan SPS). Karena itu, aturan konvergensi harus segera ditetapkan agar adil bagi kita semua, jelasnya.

Pengalaman tahun 2019, misalnya, Rafiq menjelaskan total belanja radio mencapai 1,7 triliun. Namun di tahun yang sama, media order yang diterima Spotify juga mencapai 1,7 triliun. Mungkin karena dia bisa memutar lagu yang tidak bisa diputar di radio. Itu juga dapat menempatkan iklan yang tidak sah di radio dan tetap aman. Jadi, yang disoroti adalah segera munculnya peraturan konvergensi media yang memberi kita ring tinju yang aman. “Yang diatur oleh kita, tapi yang dari luar tidak diatur,” pungkas Rafiq.

Foto: KPI Pusat/ Agung R

Source: news.google.com

Related Articles

Back to top button