Berita Wisata

Aswasada menyejukkan hati warga

JAKARTA- Juan Gultom tidak pernah memiliki pengalaman menunggang kuda. Bahkan mencicipi sensasi menunggang kuda di tempat wisata pun tidak terasa sama sekali.

Karena itu, Juan membutuhkan waktu lebih lama hingga akhirnya merasa percaya diri untuk memegang kendali kudanya dan yakin untuk bertugas sebagai anggota Pasukan Turangga.

Sejak awal, dia tidak pernah berniat menjadi bagian dari rombongan berkuda. Saat bergabung dengan Korps Sabhara Baharkam Polri beberapa tahun lalu, Juan hanya mengira akan berperan sebagai staf Sabhara pada umumnya. Bukan di detasemen Turangga.

“Bukan itu yang saya harapkan untuk bergabung dengan tentara ini. Saya harus belajar dari nol selama dua sampai tiga bulan. Hingga akhirnya, saya merasa nyaman dan bangga menjadi bagian dari aswasada (pengendara),” ujar Bripda Juan saat berbincang dengan Berita yang ValidKamis (24/11).

Pada awalnya, pikiran untuk menunggang kuda saja membuat Juan ketakutan. Dia takut jatuh dan terpental saat berkendara darah panas dari Belanda, yang rata-rata tinggi badannya hanya di atas 170 cm. Perasaan serupa juga dirasakan oleh beberapa mantan orang sezamannya.

Sepengetahuan Juan, hanya segelintir polisi yang biasa menunggang dan mengatur kuda sebelum bergabung dengan pasukan Turangga. Jadi, setiap orang harus terlebih dahulu belajar cara merawat kuda. Seorang polisi harus menjaga kuda tunggangannya pagi dan sore hari.

Juan merawat kuda setiap hari selama dua minggu pertama bertugas di pasukan Turangga. Jangan lupa memberi makan kuda pagi, siang dan sore hari.

Ia juga sering ‘ngobrol’ dengan kudanya. Dia bahkan secara teratur menggosoknya dengan lembut, terutama saat dia memandikan kudanya. Juan mengerti bahwa rutinitas ini harus diikuti agar rasa takutnya hilang.

Setelah bertemu dengan kudanya masing-masing, para aswasada, termasuk Juan, mulai berlatih menunggang kuda. Hingga akhirnya masing-masing staff dan masing-masing kuda saling memahami keinginan dan kebutuhan masing-masing.

objek fotografi
Saat menjabat, Juan dan kawan-kawan kerap dipanggil untuk menjaga situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Lokasi patroli kebanyakan berada di pusat-pusat keramaian, seperti tempat-tempat wisata.

Juan sangat senang saat pertama kali patroli Kebun Binatang Ragunan di Jakarta Selatan. Karena dia menemukan orang senang melihat tentara Turangga datang.

Salam aswasada diterima dengan baik. Bahkan banyak pengunjung yang tertarik untuk mendekati mereka karena ingin mengetahui lebih jauh tentang kuda, mulai dari asal-usulnya hingga proses pengelolaan kuda.

Banyak juga anak-anak yang meminta untuk berfoto bersama. Yohanes mengerti. Polisi berkuda jarang terlihat oleh publik.

“Sebelum pandemi, kami selalu patroli ke tempat-tempat wisata. Sekarang saya mulai patroli lagi,” kata Juan.

Memberikan pengalaman pertama ini langsung memicu rasa bangga pada Juan. Selain itu, Pasukan Turangga juga merupakan satu-satunya bagian dari kepolisian yang bertugas menjaga Istana Negara. Mereka bertanggung jawab untuk menemani kunjungan tamu negara ke Kepala Negara.

“Mungkin hanya polisi berkuda yang bisa bekerja seperti itu. Karena yang masuk ke Istana adalah polisi militer dan beberapa TNI,” kata Juan.

Aswasada atau kavaleri juga sering terlibat dalam acara-acara resmi kenegaraan, terakhir terlibat dalam pengamanan KTT G20 di Bali.

Mereka memberikan pengamanan di ring dua tempat para Kepala Negara G20 bertemu.

Juan dan aswasada lainnya berpatroli di tempat-tempat yang akan dikunjungi tamu negara, seperti di sekitar pantai dan beberapa tempat lainnya.

Ia mengaku senang karena bisa berinteraksi dengan tamu asing saat bertugas. Banyak juga tamu asing yang meminta foto bersama dengan pasukan Turangga.

“Ini pengalaman baru saya bertemu orang asing di Bali dan saya sangat berterima kasih untuk itu,” ujarnya.

Seperti Juan, Bripda Fergi Tri Nur Fajar juga kerap menjalankan tugas protokoler negara. Ia tetap bertanggung jawab menerima tamu negara yang menggelar rapat di Istana Negara. Fergi tak pernah menyangka bisa sedekat ini dengan begitu banyak kepala negara, meski ia masih menunggang kuda.

Fergi pun ketakutan saat mengetahui dirinya harus menemani tamu resmi. Dia takut kuda yang dia tunggangi tidak berfungsi sebagai latihan karena suara sirene dan musik keriuhan di pawai.

Untungnya, apa yang kami takutkan tidak terjadi. Di mata Fergi, rombongan Turangga merupakan rombongan yang istimewa. Jumlah pegawainya tidak sebesar unit kepolisian lainnya. Dia mengaku bangga menjadi bagian dari tawaran ini.

“Saat ini, jarang ada orang yang menggunakan kuda. Itu yang membuat kami merasa istimewa dibanding anggota Polri lainnya,” kata Fergi dalam perbincangan dengan Berita yang ValidKamis (24/11).

Berbeda dengan Juan, Fergi sudah dekat dengan kuda sejak kecil. Pasukan Turangga juga menjadi pilihan terbaik baginya. Ia dibesarkan dalam keluarga yang menyukai menunggang kuda dan beternak kuda.

Fergi sendiri adalah seorang atlet berkuda. Ia mengikuti ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) mewakili Jawa Barat tahun 2016. Di sana ia berhasil meraih juara ketiga.

Lalu, empat tahun kemudian, Fergi lulus ujian masuk jalur polisi. Dia segera ditugaskan sebagai wasasada. Fergi senang tidak bermain. Hobi bisa bermanfaat bagi negara.

Dalam pengalaman Fergi, upaya pengawalan dan persuasi publik paling efektif dengan kuda. Fergi dan teman-temannya biasanya hanya saling menyapa dan tersenyum, masyarakat menuruti nasehat mereka.

Selain itu, antusias pengunjung sangat tinggi untuk melihat kudanya. Tidak jarang beberapa pengunjung meminta mereka turun dari tunggangannya untuk membicarakan tentang kuda. Ada juga pengunjung lain yang akan meminta foto dengan latar belakang aswasada.

Di tempat-tempat wisata, aswasada umumnya mengajak pengunjung untuk selalu berhati-hati. Masyarakat juga akan diingatkan untuk segera menghubungi aswasada dan petugas lainnya jika melihat kejadian berbahaya di tempat wisata manapun.

“Itu kelebihan dan keistimewaan kami. Ternyata polisi berkuda lebih diterima masyarakat dengan sangat antusias,” tambah Fergi.

Selamat datang
Tugas Detasemen Turangga adalah mengawal kegiatan Istana Negara sesuai dengan permintaan dan perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kepala negara menginginkan kavaleri menjadi bagian dari rangkaian upacara penyambutan tamu negara.

Sedangkan di tempat-tempat wisata, aswasada bertanggung jawab untuk menjamin keamanan pengunjung. Mereka juga bertugas untuk menyambut orang-orang yang datang ke tempat rekreasi tersebut.

Bagi Satgas Satwa Polsek Sabhara Baharkam Patwal Subden Dalmas, Wakil Kompol Kukuh Subagyo, permintaan itu menimbulkan rasa bangga di kalangan aswasada.

Biasanya mereka akan senang jika ditugaskan ke Istana Negara. Oleh karena itu kesempatan bagi mereka untuk melihat Kepala Negara dan rombongan tamu dari negara lain.

Saat ini, detasemen Turangga memiliki 21 ekor kuda serta puluhan aswasada. Mereka bergantian bertugas di Istana Negara. Kalau tidak, mereka akan berpatroli di tempat-tempat ramai.

Setiap patroli. melibatkan setidaknya dua aswasada. Pasalnya, setiap kuda yang dioperasikan pasti memiliki teman. Kalau tidak, kuda itu bisa tiba-tiba panik dan lepas kendali.

Sejauh ini respon yang diterima Tentara Turangga dari masyarakat sangat baik. Bahkan, banyak warga sekitar yang mendekat dengan alasan ingin memperkenalkan bahwa Polri memiliki kavaleri melalui media sosial.

“Ya intinya kami sering menjadi hiburan tambahan bagi masyarakat. Karena mereka juga memperbolehkan kami untuk naik (kuda) dan berfoto. Itu artinya membuat masyarakat merasa nyaman,” kata Kukuh.

Pemecah Konsentrasi
Meski kini tugas Aswasada lebih banyak mengawal upacara, pasukan Turangga juga harus siap mengemban tugas pengamanan massa unjuk rasa. Setidaknya Kukuh pernah mengalaminya dalam beberapa kesempatan, seperti saat membantu meredam kerusuhan tahun 1998.

Saat itu aswasada disiagakan di gedung MPR. Mereka bertugas untuk siaga mengawasi massa agar tidak bertindak melanggar hukum, serta mengawasi para provokator yang mengobarkan emosi pengunjuk rasa.

Begitu kerusuhan memanas, aswasada membentuk barisan seperti barikade. Kemudian dekati perlahan dan tangkap penantangnya.

Pada kesempatan lain, Kukuh dan kavalerinya juga ikut mengamankan unjuk rasa 212 di Monas, Jakarta Pusat. Saat itu, tugas aswasada adalah memecah konsentrasi massa.

Massa yang awalnya bertindak anarkis menjadi tenang karena kehadiran pasukan tersebut. Konsentrasi massa terbagi karena banyak yang tertarik dengan kuda. Bahkan, sudah banyak orang di sana yang menjadikan kuda-kuda yang ada menjadi objek foto.

Ketika situasi sudah tenang, aswasada menghimbau massa untuk menyampaikan pendapatnya dengan baik. Setelah itu kembali ke rumah masing-masing. Uniknya, menurut Kukuh, massa mendengarkan arahan aswasada.

“Jadi kami diterima dengan sangat baik oleh masyarakat. Pendekatan menggunakan kuda ini dinilai lebih efektif dibandingkan menggunakan senjata api dan peralatan lainnya,” kata Kukuh.

Kasubden Dalmas Turangga Detasemen Polisi Satwa Sabhara Baharkam Polri, AKBP Edi Susilo menegaskan, proses untuk menjadi aswasada tidaklah mudah. Mereka harus melalui seluruh proses yang cukup sulit karena risiko menunggang kuda cukup tinggi.

Aswasada bisa saja terluka parah. Banyak aswasada menderita kaki terkilir dan luka serius lainnya.

Ada beberapa aswasada yang terluka sehingga para dokter melarang mereka untuk naik lagi. Salah seorang polwan yang menjadi aswasada pernah divonis tidak bisa lagi menunggang kuda karena mengalami saraf kejepit di tulang belakang akibat jatuh dari kuda.

Untuk menghindari kondisi seperti di atas, aswasada wajib memakai helm dan sepatu bot. Standar keamanan berkuda adalah sesuatu yang tidak boleh diabaikan.

Sedangkan aspek keamanan lainnya, seperti kewaspadaan, pengetahuan hukum dan kemahiran senjata seperti personel kepolisian merupakan hal wajib dan mendasar yang harus dimiliki aswasada. Meski setiap staf dekat dengan kudanya, faktor kehati-hatian tidak bisa diabaikan.

“Aswasada selalu diminta untuk berhati-hati saat mengamalkan atau saat mengabdi di masyarakat,” kata Edi.

Source: news.google.com

Related Articles

Back to top button